0%
Sabtu, 03 Desember 2022 23:32

Cakap dan Cakep Di Ruang Virtual

ilustrasi
ilustrasi

Pandemi Covid 19 memang memaksa setiap orang untuk bergerak dan berpindah lebih cepat ke dunia digital, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Pendidik tidak lagi hanya diminta berada di dalam kelas. Demikian pula ruang-ruang seminar berpindah ke ruang virtual. Hal tersebut peran pednidik di ruag kelas maupun Narasumber di ruang seminar ataupun di talkshow juga berkembang. Penggunaan media sebagai perantara yang komunikatif bagi anak didik atapun peserta seminar. Ketika ruang kelas dan ruang seminar berada dalam ‘genggaman’, pendidik kemudian menjadi konten creator, mengeavaluasi konten yang ada, memilih media hingga mendampingi penggunaan media.

Berbagai Aplikasi penunjang berkembang semakin banyak dan mudah, bila sebelumnya kita hanya mengenal aplikasi Microsoft power point, saat ini beragam aplikasi menawarkan kemudahan dan keragaman, seperti Canva, Visme, Goggle Slides, dan banyak lagi. Menggunakan slide presentasi saat ini menjadi satu kebutuhan utama dalam menyampaikan materi maupun ide. Tampilan pun tidak lagi sebatas kalimat dan gambar, tapi juga berupa video.
Tidak sedikit pendidik yang menggunakan Youtube bahkan Tiktok sebagai ‘kelas’. Hal tersebut tentu membutuhkan keterampilan digital yang memadai, mulai dari pengambilan gambar, editing, komunikasi hingga kepercayaan diri. Berbeda dengan mengajar di ruang kelas atau menyampaikan informasi sebagai narasumber di sebuah kegiatan, menggunakan internet berarti paham bahwa media tersebut akan bisa dilihat dan ditonton siapa saja tanpa bbatasan usia dan geografis, meskipun awalnya hanya untuk kalangan tertentu saja. Siswa / Mahasiswa di kelas, peserta webinar atau talkshow yang mengundang sebagai narasumber.
Terlepas dari kecakapan digital yang harus dimiliki, hal penting yang justru sering terabaikan adalah yang menyangkut konten atau isi, antara lain;

  1. Memilih media yang mudah dan tidak memberatkan penggunanya, misalnya penggunannya sulit mengoperasikan atau harus mengunduh terlebih dahulu sehingga membutuhkan akses internet dan ruang penyimpanan. Bukan tentang kebaruannya tapi sesuaikan dengan kebutuhan siswa ataupun peserta.
  2. Gunakan sumber literatur yang terpercaya saat menjelaskan suatu fakta, dikuatkan dengan data yang valid bukan sekadar rumor, contohnya mengutip dari website resmi, goggle cendekia, e-library, jurnal-jurnal tertentu, video resmi, dan seterusnya.
  3. Seringkali kita menemukan narasumber yang menggunakan video dari youtube atau tiktok, ataupun menggunakan slide presentasi orang lain tanpa mencantumkan sumber asli. Padahal layaknya sebuah kutipan, maka wajib untuk menghargai hak intelektual orang lain dengan mencantumkan sumber aslinya, selain untuk menghindari tuduhan plagiasi, juga untuk meyakinkan peserta didik atau peserta webinar/talshow kita tentang kevalidan informasi yang kita sampaikan, sebab berdasarkan hasil riset ataupun sumber resmi. Hal tersebut juga berlaku untuk penggunaan Quotes atau kata bijak, lirik lagu, potongan film, dan sebagainya.
  4. Menjaga privacy diri dan orang lain terutama anak, belakangan banyak ditemukan potongan video yang viral menunjukkan aktivitas anak-anak di sekolah. Tanpa unsur kesengajaan merekam anak misalnya saat mengerjakan tugas, berolahraga, menyanyi dan berbagai aktivitas lainnya ke media sosial, tanpa seijin anak ataupun orangtua. Potongan video tersebut viral, dan tidak sedikit anak-anak yang ada di dalam video/gambar tersebut menjadi bahan perundungan warganet. Karenanya perlu dipahami, tugas siswa/mahasiswa yang dibuat dalam bentuk gambar ataupun video tidak seharusnya menjadi konsumsi khalayak. Menurut survei UNICEF U-Report 2021, sebanyak 45?ri 2.777 anak muda usia 14-24 tahun pernah mengalami perundungan siber.
  5. Memastikan gambar, video, music yang kita gunakan, legal dan bisa digunakan sebab tidak semua yang ada ditemukan di internert bebas kita gunakan, maka dibutuhkan kecakapan digital untuk melihat apakah gambar, music atau video bisa digunakan secara bebas, terbatas atau tidak boleh digunakan sama sekali, tentu tidak lupa tetap menyertakan sumbernya.
  6. Tidak berisikan ucapan kebencian, informasi bohong, SARA maupun pornografi dan pornoteks, selain tidak layak juga untuk menghindari memancing kemarahan. Bila gambar atau ucapan tersebut merupakan contoh yang tidak untuk ditiru, pastikan itu tertulis jelas sumber dan tidak ada privasi orang lain yang tampak disitu seperti nomor ponsel, nama akun, dan seterusnya.
  7. Penampilan, baik sebagai guru maupun narasumber menjadi hal yang penting melengkapi tampilan presentasi baik melalui youtube, tiktok hingga virtual meeting biasa. Walaupun sifatnya virtual bukan berarti kita bisa bertindak dan berpenampilan seadanya, misalnya kualitas suara yang buruk, tampilan gambar yang tidak baik, melakukan virtual meeting ditengah keramaian, dimana orang lalulalang bisa mengalihkan perhatian orang yang mengikuti kita. Termasuk ketika membuat video pembelajaran tentang lingkungan, tetap perhatikan sekitar jangan sampai ada tampilan yang tidak seharusnya muncul di sebuah video pembelajaran.
  8. Memahami komunikasi yang digunakan di dunia digital terutama di media-media sosial, seperti emoji, Gif, stickers, meme hingga istilah-istilah baru atau dikenal dengan bahasa gaul, tidak sepenuhnya dihindari asal digunakan sesuai situasi, kondisi, konteks dan dengan siapa kita berbicara.
  9. Meminta ijin adalah langkah yang paling tepat dilakukan bila ingin mengunggah video, gambar, atau bahkan siaran langsung di media sosial kita, terutama pada anak untuk menjaga kenyamanan, keamanan serta jejak digital anak.

Sekali lagi teknologi tidak akan bisa menggantikan peran manusia sebagai pendidik, kecerdasan teknologi harus menjadikan kita sebagai pengguna yang lebih cerdas. Demikian pula kemudahan yang ditawarkan tidak lantas menjadikan kita melupakan hal-hal dasar sebagai individu penggunanya, terutama dalam peran kita di dunia pendidikan, baik di ruang kelas maupun di ruang seminar virtual.

 

Kolom Populer