0%
Rabu, 28 Desember 2022 14:58

Covid Melahirkan Ibu Hebat

Covid Melahirkan Ibu Hebat

Persepsi tentang perempuan pada era modern ini belum bebas dari pandangan tradisional yang menempatkan mereka pada posisi "yang dinomorduakan". Perempuan adalah makhluk yang lemah. Tidak jarang kita mendengar, membaca atau bahkan mengalami sendiri bagaimana kita, sebagai perempuan, dianggap sebagai kelompok yang tidak berdaya, tidak kreatif, tidak mampu mencari solusi. Cengeng. Bahkan, dibeberapa referensi, perempuan dimasukkan sebagai kelompok rentan, bersama anak kecil dan para manula

Yakin?

Mungkin saja...

Tapi... tunggu sampai mereka menjadi seorang Ibu.

Saya tidak akan bercerita tetang betapa kuatnya seorang Ibu saat melahirkan sekali, dua kali, empat hingga enam kali. Tidak juga saya mengurai drama para Ibu yang berusaha berdamai dengan egonya demi merawat anak-anak mereka. Saya hanya ingin berbagi sedikit pengalaman yang, semoga saja, dapat membuat kita semua berpikir sekali lagi sebelum mengatakan apakah para Ibu, kaum perempuan, adalah mereka yang tidak dapat berpikir kritis, tidak kreatif dan tidak dapat mencari solusi. 

Sebuah pengalaman sederhana yang cukup menggelitik saat saya dan tim melakukan penelitian di permukian pesisir di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Makassar selama tahun 2022. Kami meneliti terkait kondisi permukiman, baik dilihat dari segi spasial (infastruktur), maupun aktivitas masyarakat selama masa pandemi Covid 19.

Sedikit gambaran tentang lokasi penelitian saya dan teman-teman, permukiman tersebut tergolong kumuh sedang. Kepadatan bangunan yang tinggi, salah satunya dapat dilihat dari rata-rata Building Coverage Ratio sebesar 60% hingga 100%.  Nyaris tidak menyisakan sedikit lahan pun untuk ruang terbuka di rumah mereka. Gang-gang sempit menyerupai labirin dengan lebar 1,5 hingga 2 meter hanya cukup dilalui oleh pejalan dan kendaraan roda dua. Pada umumnya, kepala keluarga, para ayah, bekerja di sektor informal sebagai nelayan, buruh bangunan, pekerja di bengkel las, pekerja di galangan kapal, pedagang kaki lima, supir angkot, supir ojek dan karyawan mini market. Selama masa pandemi terjadi penurunan pendapatan sekitar 60%. Mirisnya, penurunan pendapatan diikuti dengan bertambahnya pengeluaran rutin berupa pulsa internet untuk anak yang bersekolah dari rumah. 

Lalu, bagaimana mereka dapat bertahan hidup?

Coba lihat apa yang telah dilakukan para Ibu Rumah Tangga (IRT) di sana.

Saya dan teman-teman mengidentifikasi aktivitas masyarakat di permukiman pesisir di Kelurahan Tallo selama masa pandemi Covid 19. Salah satunya, kami melihat bagaimana para IRT berusaha mendapatkan pemasukan tambahan dengan membuka warung di rumah mereka. Setelah PSBB tidak diberlakukan lagi, para IRT ditemani anak perempuannya (bukan anak laki-lakinya, ya), berjualan masker atau minuman ringan di pinggir jalan, di luar zona permukiman mereka.

"Suami sempat tidak bekerja. Tidak ada pemasukan, jadi saya jual-jual ini gorengan.... Biasanya dua puluh ribu satu hari. Pernah juga tidak ada didapat." (Ibu A, 45 tahun)

"Saya jual sabun-sabun, sampo. Ada juga teh, gula, kopi. Cemilan-cemilan anak ada. Paling laku mi itu. Alhamdulillah ada-ada saja yang beli." (Ibu B, 50 tahun)

"Ada bos yang punya ini usaha minuman. Saya cuma diantarkan terus jual di sini sama anakku. Bahan sama mesin semua punya bos. Ini tempat juga. Biasanya laku seratus sampai seratus lima puluh ribu satu hari. Saya dikasi bos lima puluh ribu. Kalau banyak-banyak laku, saya dikasi sampai tujuh puluh lima ribu." (Ibu C, 39 tahun)

Ibu yang bekerja memang bukan hal yang baru di era modern ini tapi yang saya garis bawahi adalah penambahan peran para Ibu yang terjadi dalam waktu singkat. Virus Covid 19 menyebar di Indonesia dan di Makassar, terhitung pada bulan Maret 2020, setelah itu diberlakukan PSBB yang mengharuskan masyarakat untuk tinggal di rumah. Pada akhir 2020, di lokasi studi sudah bermunculan usaha sampingan berupa warung kelontong yang dikelola oleh para IRT. Teridentifikasi, hingga penelitian kami dilakukan, yaitu Juni 2022, terdapat 16 warung kelontong di dua RT; empat warung sudah eksis sebelum masa pandemi, dan sisanya, 12 warung buka selama masa pandemi. Para IRT di sana, yang sebelumnya hanya bekerja mengurus rumah dan anak, pada masa pandemi juga berperan sebagai pencari nafkah. 

"Saya ji yang jaga warung. Kalau mencuci di kamar mandi, saya buka pintu. Jadi kelihatan anak-anak main di ruang nonton. Bisaji juga didengar orang yang mau beli di warung. Rumah kecil jadi dekat-dekat semua ruangan." (Ibu A, 45 tahun)

Melihat begitu lincahnya para IRT dan peran barunya sebagai penyokong ekonomi keluarga pada masa pandemi, apakah kita masih bisa mengatakan bahwa kelompok mereka adalah kelompok yang tidak kreatif? Tidak dapat mencari solusi? Tidak berdaya?

Dengan segala daya yang dimiliki, para IRT ini berupaya mencari solusi untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Hanya saja, yang menjadi catatan kita bersama adalah bagaimana para IRT ini memgelola barang dagangan mereka, atau lebih tepatnya, jenis barang dagangannya. Berdasarkan hasil observasi kami, dari 16 warung di lokasi studi, hanya terdapat tiga jenis barang yang diperjualbelikan: kebutuhan harian (sembako dan peralatan mandi), pulsa, dan gorengan beserta minuman ringan. Saya dan teman-teman bukan orang yang ahli ekonomi apalagi bisnis. Namun, sebatas pengetahuan saya, homogenitas barang dagangan dapat membuat daya saing semakin tinggi. Kemungkinan akan ada bebrapa warung tidak memiliki pelanggan sama sekali. Tidak ada perbedaan antara warung satu dengan warung tetangga yang keduanya menjual pisang goreng misalnya. Sempat terbersit dibenak saya, mengapa tidak jual tempe dan tahu goreng jika tetangga sudah menjual pisang goreng? Mencari perbedaan, keunikan hingga keunggulan barang dagangan mungkin saja belum terpikirkan oleh para IRT di sana.

Melalui pengalaman tersebutlah, saya berpikir bahwa ternyata, semangat, motivasi dalam bertindak tidaklah cukup. Dibutuhkan wawasan yang luas dan komperhensif dalam mencari sebuah solusi. Tanpa ilmu yang cukup, aksi yang dilakukan tidaklah tepat sasaran. Lalu, bagaimana dengan para IRT di pesisir yang rata-rata pendidikan terakhirnya adalah sekolah menengah? Teori-teori mata pelajaran ekonomi di sekolah menengah bisa saja belum cukup menjadi bekal untuk berbisnis meskipun kecil-kecilan. Ditambah minimnya pengalaman berbisnis dalam masyarakat, akibat pola pikir "orang Timur tradisional" yang menganggap anak perempuan langsung saja dinikahkan setelah lulus SMA dan menjadi IRT seutuhnya. Dibutuhkan sebuah langkah lebih lanjut untuk membantu para IRT dalam mengembangkan wawasan mereka.

Pemerintah dan para akademisi menjadi salah satu ujung tombak dalam pemberdayaan perempuan, termasuk mereka yang hidup di pesisir. Pihak pemerintah diharapkan tidak hanya memberi bantuan modal semata tanpa ditunjang dengan kegiatan yang menambah wawasan kelompok perempuan. Oleh karena itu, kerjasama dengan pihak kampus dalam  kegiatan pemberdayaan masyarakat seperti sosialisasi dan pelatihan dapat memperluas wawasan dan meningkatkan keterampilan. Sinergi antara kedua stakeholders ini dibutuhkan; pemerintah sebagai penyedia modal dan pihak akademisi sebagai guru masyarakat. Memiliki uang saja tanpa bekal ilmu seperti layaknya orang yang berjalan dalam gelap, tidak tahu arah. Sebaliknya, ilmu yang cukup tanpa bekal modal, seperti orang yang berjalan hanya dengan satu kaki, terseok-seok.

Pandemi Covid-19 telah membuka mata kita tentang berbagai hal, termasuk bagaimana peran perempuan yang adaptif. Coping strategi dalam aspek ekonomi menjadi bentuk mitigasi untuk bertahan hidup pada masa sulit. Sekarang, kita tidak dapat memandang perempuan hanya dengan sebelah mata lagi, termasuk mereka yang belum berkesempatan mengecap pendidikan yang lebih tinggi. Semangat para Ibu, tanggung jawab mereka terhadap keluarga bahkan dalam masa-masa mencekam wajib kita apresiasi.

Terima kasih kita semua untuk para Ibu hebat di luar sana.

 

Masa kritis pandemi (semoga) telah berlalu. Beristirahatlah sejenak, Ibu... Terima kasih, sekali lagi,  untuk segalanya.

Kolom Populer