Banjir menjadi peristiwa yang nyaris setiap tahunnya terjadi di saat musim penghujan menjadi pemandangan lazim di kota Makassar. Seperti sekarang ini bahkan sebelum cuaca ekstrim yang terjadi sebelum dan sesudah Natal baru-baru ini. Bulan lalu sebenarnya kota Makassar sudah diterjang banjir.
Bahkan banjir yang terjadi di Manggala, perumnas Antang Blok 8 dan 10 sejak 24 hingga 26 Desember kemarin ini bahkan lebih parah dari banjir belum lama ini di November lalu. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Makassar Minggu (25/12/2022), banjir masih merendam sejumlah wilayah di Makassar. Tercatat ada 3 kecamatan yang terdampak yakni Kecamatan Manggala, Biringkanaya, dan Tamalanrea.
Dari 3 kecamatan tersebut ada 15 kelurahan yang terdampak banjir. Total 1.954 kepala keluarga (KK) atau 6.644 jiwa yang terdampak banjir Makassar dengan jumlah rumah terendam sebanyak 2.646 unit.
Sedangkan 2 kecamatan yang terdata mengalami banjir cukup parah hingga membuat warga mengungsi. Saking parahnya, banjir itu memaksa 609 jiwa mengungsi di Kecamatan Manggala dan Biringkanaya.
Selain curah hujan yang tinggi, cuaca ekstrim itu juga berbentuk angin kencang yang mencatatkan ada 28 titik pohon tumbang selama 3 hari terakhir di Makassar. Akibat pohon tumbang itu 10 KK atau 32 jiwa terdampak. Yang cukup menyita perhatian adalah tumbangnya pohon tua jenis trembesi di samping gedung IMMIM yang menimpa warung bakso yang mengakibatkan 4 korban luka.
Banjir jadi isu politik
Sayangnya alih-alih mendudukan persoalan secara jernih, banjir kerap menjadi isu politik daripada menjadi sebuah alarm tentang dampak perubahan iklim dan penanganan tata ruang kota yang bisa mengantisipasi soal banjir.
Padahal, kondisi geografis kota Makassar sejak dirancang bangsa VOC, hingga sekarang sudah diketahui bahwa kota yang menjadi ibukota provinsi Sulawesi Selatan ini rawan banjir. Speelman yang memindahkan pusat pemerintahan VOC saat mengalahkan kerajaan Gowa-Tallo dari Somba Opu ke benteng Jumpandang dan membangun kota yang disebut Vlaardingen dan menjadi cikal bakal kota Makassar itu membuat sistem kanal untuk mencegah banjir baik disebabkan curah hujan maupun banjir rob saat laut pasang.
Kota Makassar, adalah kota yang dekat dengan pantai atau daerah pesisir. Dengan karakteristik Topografi dengan kemiringan lahan 0-2°(datar) dan kemiringan lahan 3-15° (bergelombang) Luas Wilayah kota ini tercatat 175,77 km persegi, daerahnya membentang sepanjang koridor barat dan utara. Kota ini pada dasarnya merupakan hamparan daratan rendah yang berada pada ketinggian antara 0-25 meter dari permukaan laut. Dengan beberapa sungai yang mengalir di dalamnya, sungai Tallo, sungai Jeneberang dan sungai Pampang yang bermuara ke kota ini. Beberapa daerahnya saat ini sangat rawan banjir karena kondisi topografi dan kontur tanah. Misalnya 2 kecamatan, Manggala dan Biringkanaya.
Dengan melihat situasi itu, sebenarnya sejak dulu siapa pun pemimpin kota ini seharusnya sudah punya konsep untuk menanggulangi masalah banjir. Anehnya selalu saja ramai orang mencalonkan diri saat Pilkada kota. Namun saat banjir pemimpinnya seperti baru tersadar dari tidur tahu-tahu beberapa warga ramai di sosial media mengabarkan rumahnya kebanjiran atau dikepung banjir.
Banjr bagaimana pun adalah fakta di kota ini. Namun menjadi sebuah isu saat dibentuk sebagai komoditi politik. Bagi lawan politik atau pendukung lawan politik pemimpin kepala daerah akan beramai-ramai melakukan bully atas ketidakbecusan pemimpin kota menangani banjir yang bahkan sampai jatuh korban.
Bagi pendukung pemimpin kota, keluhan banjir berusaha ‘dibela’ sebagai kondisi alam yang tidak bisa diprediksi atau tidak bisa dilawan. Seringkali terdengar alasan saat banjir “ini memang cuaca ekstrim curah hujan tinggi jadi ya pasti banjir apalagi kalau pas pasang di laut”
Bahkan sebagai sebuah pembelaan yang sentimentil menciptakan eufemisme istilah banjir dengan genangan. Muncullah tahun sebelumnya polemik kontra produktif soal banjir versus genangan. Banjir kali ini walikota Danny Pomanto kembali menemukan sasaran yang bisa ditunjuk sebagai biang keladi banjir menjelang akhir tahun 2022 ini -selain tentunya tetap menuding curah hujan yang lucunya tidak pernah secara implisit membahas dan megarusutamakan isu perubahan iklim—yakni pengembang perumahan.
Sebenarnya sejak dulu masalah ini sudah disoroti publik. Dengan maraknya pembangunan perumahan baik dbagian utara kota ataupun pesisir ke arah selatan kota Makassar. Menurut Danny Pomanto, para pengembang perumahan itu ada yang membangun di daerah air dan pembangunan perumahan yang tidak teratur memicu banjir. Karena itu walikota juga meminta pengembang itu juga ikut bertanggung jawab atas masalah banjir di Makassar. Danny juga mengatakan pihaknya sudah lama tidak memberikan izin pembangunan perumahan di daerah air. Namun faktanya ia malah menuding para pengembang itu ikut bertanggung jawab dengan banjir saat ini.
Penulis mencatat sudah ada 3 kambing hitam yang dituding sebagai penyebab banjir selama kepemimpinan Danny Pomanto di kota ini. Sebelumnya, banjir akibat kiriman air dari daerah tetangga kota Makassar yakni Maros dan Gowa, karena tudingan itu mengakibatkan reaksi publik dan pemerintah daerah tetangga kota Makassar berikutnya tudingan dialihkan ke curah hujan dan kondisi alam yang berarti warga hanya diminta untuk waspada dan berhati-hati.
Karena itu penulis menduga yang bisa dilakukan hanya menyampaikan pemberitahuan prakiraan cuaca dari BMKG yang sebenarnya dengan gampang bisa diakses secara online lewat gadget smartphone kita. Kini, developer pun tak luput jadi kambing hitam. Menarik sebenarnya memprediksi tahun depan apa atau siapa lagi yang akan jadi kambing hitam berikutnya.
Namun bila berpikir jernih, adalah kontra produktif untuk selalu mencari kambing hitam saat banjir melanda kota ini. Kesadaran atas kondisi geografis kota tipikal kontur tanah dan kesadaran atas kondisi iklim yang menaungi daerah ini serta sadar akan krisis iklim seharusnya membuat pemerintah merancang pembangunan anti banjir.
Contoh kecil seperti penanganan kanal dan waduk. Bila menganggap minimnya kesadaran warga atas kebersihan kanal juga kurang arif rasanya. Walikota punya kuasa untuk menggerakkan warga hingga ke tingkat RT dan itu bukan sesuatu yang mustahil. Bukankah terbukti pada momen politik walikota bisa menggerakkan ketua-ketua RT se-makassar?