Kata gender merupakan hal yang tak asing lagi bagi negara Dunia Ketiga atau Negara Berkembang. Di Indonesia kita sering menemukan kata gender dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam program dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah ataupun organisasi kemasyarakatan. Akan tetapi dalam masyarakat masih banyak yang belum mengetahui pasti apa yang di maksud dengan gender itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa gender itu adalah perempuan. Sehingga ketika kesetaraan dan keadilan gender itu di dengungkan maka tak sedikit yang antipati terhadap hal tersebut. Hal ini dikarena mereka merasa bahwa kesetaraan gender itu merupakan konsep yang melawan kodrat seorang perempuan. Padahal konsep gender itu sendiri sangat berbeda dengan jenis kelamin yang merupakan fitrah seorang manusia.
Menurut Mansour Fakih dalam bukunya “Analisis Gender dan Transformasi Sosial” menyatakan bahwa konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang di konstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal lembut dan penyayang sedangkan laki-laki dianggap kuat dan rasional. Perubahan ciri dan sikap itu dapat terjadi misal ada kalanya perempuan itu kuat dan rasional begitupun sebaliknya laki-laki pun bisa bersifat lembut dan penyayang. Pertukaran ciri dan sifat yang terjadi antara perempuan dan laki-laki karena waktu,situasi dan kondisi inilah yang dikenal dengan konsep gender. Sehingga kesetaraan dan keadilan gender itu sendiri tidak memandang jenis kelamin, perempuan ataupun laki-laki, usia bayi atau lansia dan orang berkebutuhan khusus atau disabilitas.
Permasalahan yang biasa muncul akibat adanya kesenjangan atau ketimpangan gender adalah diskriminasi terhadap salah satu pihak baik itu perempuan, laki-laki, anak perempuan, anak laki-laki dan kelompok disabilitas atau kelompok berkebutuhan khusus. Seperti Stereotype atau pelabelan terhadap laki-laki ataupun perempuan yang menimbulkan ketidakadilan. Violence atau kekerasan fisik maupun psikis yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga maupun bermasyarakat. Marginalisasi atau peminggiran yang biasa terjadi bagi kaum perempuan di tempat kerja maupun dalam kehidupan berkeluarga. Subordinasi atau penomorduaan dengan menganggap bahwa anak laki-laki lebih berhak mendapat prioritas utama dibanding anak perempuan. Doubel burden atau beban ganda yang biasa dialami oleh perempuan yang melakukan pekerjaan domestik rumah tangga tetapi juga harus bekerja untuk membantu kelangsungan hidup keluarganya.
Hal ini bukan berarti bahwa perempuan yang bekerja tidak dituntut untuk melakukan pekerjaan rumah tangga tidak seperti itu. Tetapi dibutuhkan kerjasama dan saling pengertian antara seluruh anggota keluarga untuk bersama-sama saling membantu dalam menyelesaikan pekerjaan domestik rumah tangga. Begitupun halnya ketika perempuan bekerja itu bukan untuk mengambil alih peran laki-laki akan tetapi untuk membantu kelangsungan hidup keluarga. Perempuan bekerja untuk berdaya bukan karena ingin menggantikan peran laki-laki akan tetapi agar perempuan tersebut siap ketika laki-laki yang menjadi tumpuan dan harapan hidupnya suatu saat pergi meninggalkanya entah itu karena kematian ataupun hal lain.
Untuk mengatasi hal ini Pemerintah membuat strategi dan kebijakan dengan menerbitkan Peraturan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan dimana dalam instruksi tersebut mengatakan bahwa Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional dengan tujuan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kemudian di tahun 2012 Pemerintah Indonesia melakukan upaya percepatan pengarusutamaan gender dengan mengeluarkan Surat Edaran No.270/M.PPN/11/2012; No.SE-33/MK.02/2012; No.050/4379A/SJ dan SE 46/MPP-PA/11/2012 tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG). Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi perempuan dan laki-laki dalam proses penyusunan kebijakan dan program perencanaan pembangunan daerah agar lebih adil dan tepat sasaran dengan tujuan agar dapat mempertajam analisis kondisi daerah dalam memetakan kesenjangan pembangunan manusia berdasarkan data terpilah (gender) yang sesuai dengan kebutuhan. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran serta membangun transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam mewujudkan kesetaraan (equity). Meningkatkan partisipasi masyarakat baik laki-laki maupun perempuan dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Menjamin agar kebutuhan dan aspirasi laki-laki dan perempuan dari berbagai kelompok sosial dapat diakomodasi (KPPPA,2010;9)