Kisah Asib Ali Bhore (32) pria India dan Syarifah Haerunnisa (25) menghebohkan jagat maya. Terkini, Ali si “Arjuna” dari India mesti ‘melayani undangan acara-acara talkshow yang hendak mengulik kisah perjuangan cintanya. Sementara si putri Bugis, Nisha tengah sibuk mengklarifikasi tudingan netizen yang sungguh ‘mematikan’.
Ali si Arjuna dari India ini heboh setelah hadir di kabupaten Wajo, Susel untuk melamar gadis pujaannya seorang putri nan cantik dari tanah Bugis. Sayang, beribu sayang, lamarannya tak bisa diterima oleh orang tua sang gadis. Namun tak seperti kebanyakan film Bollywood India yang akan mengekpresikan kesedihan ( juga kegembiraan) dengan bernyanyi dan menari, Ali pria dari India ini malah mengungkapkan kesedihan di Sosial media. Jadilah dia viral se jagat maya. Bahkan seolah dikomandoi beberapa konten kreator merespon ini dengan berbagai meme yang menyindir kekejaman atas penolakan lamaran tersebut.
Konteks Komunikasi Antarbudaya
Namun, bicara penolakan lamaran di Sulsel ini sesungguhnya bukanlah hal baru, banyak kok yang lebih nelangsa dan tragis dari nasib Ali si Arjuna dari India ini. Hanya saja yang menarik bagaimana kejadian ini bila ditinjau dari komunikasi antarbudaya. Bisa saja kegagalan lamaran ini adalah soal komunikasi budaya saja. Seperti jatuhnya bom atom yang ditengarai hanyalah salah paham dalam menafsirkan Komunikasi antara pemimpin militer Jepang dan Amerika Serikat waktu itu.
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, kebiasaan. (Stewart, 1974). Sebenarnya banyak pengertian teoritik terkait komunikasi budaya. Namun seluruhnya memberi penekanan pada faktor perbedaan budaya dalam proses komunikasi.
Penekanan pada perbedaan budaya mengisyaratkan dua hal sesungguhnya. Pertama; betapa masalah budaya atau kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut seseorang atau komunitas tidak bisa dianggap sepele begitu saja. Kebiasaan makan dengan suara mulut mengecap dan kaki naik satu di kursi bisa jadi oleh suatu komunitas budaya atau kebiasaan sebuah keluarga adalah cara mereka sangat menikmati perjamuan, tapi komunitas lain bisa saja menganggapnya tidak sopan. Atau bagaimana profesi sebagai mubaligh, ASN, polisi dan TNI serta pengusaha grosiran misalnya nilainya bagi seorang pria akan sangat besar daripada sebagai dosen ataupun sebagai artis.
Kedua; Interaksi budaya saat ini menjadi niscaya di era apa yang disebut Yasraf Amir Piliang sebagai “dunia yang dilipat” batas-batas geografis (wilayah), ekonomi, politik, hingga komunikasi (bahasa) menjadi tidak lebih berarti saat ini. Hal ini menimbulkan faktor-faktor dalam menentukan pola komunikasi antarbudaya seperti Mobilitas, Saling Kebergantungan Ekonomi, Pola Imigrasi, Kesejahteraan Politik, dan Teknologi Komunikasi.
Kasus Ali si Pria India dan gadis Wajo Nisha diawali oleh grup WhatsApp yang berlanjut dengan komunikasi chat personal. Faktor yang membuat terjadinya komunikasi antarbudaya antara Ali di India dan Nisa di Wajo, Sulsel Indonesia ini adalah teknologi komunikasi. Teknologi ini semakin hari semakin canggih dan mengalami perkembangan pesat dan melesat. Sebagai sebuah hasil karya manusia tidak menutup pula kemungkinan akan dampak negatif seperti kejahatan digital (cyber crime). Bukan tidak mungkin seorang Nisha yang menggunakan smartphone juga mengakses hasil-hasil teknologi seperti sosial media yang belakangan cukup banyak konten video-video dari India atau film-film India -walaupun masih belum mengalahkan demam film Korea saat ini.
Sebenarnya dengan teknologi informasi, Sulsel khususnya tidak cukup asing dengan budaya India baik India kuno maupun modern. Film terutama menjadi sarana dalam mempromosikan budaya. Siapa yang tak kenal dengan Sharukh Khan si pria tampan dengan lesung pipitnya itu. Generasi 70-80 an juga pernah punya idola Amitabh Bachchan aktor perawakan tinggi besar tersebut.
India kuno bukan saja sangat dekat dengan kebudayaan di Nusantara ini khususnya di tanah Jawa juga banyak dikenal karena film seri Mahabarata dan Ramayana yang beratus jilid itu. Namun dari film itu orang di Indonesia khususnya beragama Islam mengindentikkan India dan agama Hindu. Bahkan Sharukh Khan dan Amitabh Bachchan pun bisa jadi masih banyak yang mengira beragama Hindu padahal keduanya adalah muslim.
Persepsi budaya yang tergambar dibenak kita terhadap seorang dengan latar budaya yang berbeda menimbulkan apa yang disebut strereotip. Menurut Kornblum, Stereotipe merupakan citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. (Mulyana, 2006).
Contohnya lagi, stereotip tentang orang Padang atau Wajo itu pelit, atau perempuan Sunda yang suka selingkuh atau misalnya pria Ambon yang dinilai kasar dan pemarah hanya karena banyak dari suku ini bekerja sebagai debt colector atau penagih utang di ibukota Jakarta. Stereotip bisa juga bermakna positif seperti orang Padang dan Wajo itu jago berdagang dan cari uang.
Stereotip negatif kadang kala tak begitu saja hilang hanya karena perempuan di Sulsel sering menonton film India misalnya. Sebagai hiburan bisa saja film India adalah kegemaran, Sharukh Khan bisa saja menghiasi mimpi-mimpi perempuan bugis, tetapi memilih pasangan hidup dalam ikatan pernikahan mereka biasanya akan merujuk kepada agama dan adat istiadat masing-masing. Karena pernikahan bukan hobi tapi keputusan hidup yang penting. Lagi pula keputusan pernikahan di Sulsel bukan semata keputusan seorang gadis, itu melibatkan keluarga besar.
Pengetahuan Budaya, Selain jual Tampang.
Komunikasi antarbudaya sangat ditentukan oleh pengetahuan budaya. Atau juga pengetahuan tentang nilai-nilai yang dianut oleh suatu komunitas bangsa-bangsa. Ali si Arjuna dari India itu misalnya melakukan ‘blunder’ ketika dengan mengagetkan pada dini hari datang ke rumah si putri Bugis itu hendak melamarnya. Bagi orang budaya Sulsel, ini tentu tidak beretika. Budaya di Sulsel punya tahapan-tahapan, minimal ada meminta orang untuk “mamanu’ manu” atau menjajaki anak gadis seorang yang tengah ditaksir. Apakah masih gadis belum bersuami atau belum diikat sebuah perjodohan dan lamaran lain. Sambi mempertimbangkan bibit bobotnya. Lalu baru bisa secara resmi berbicara kepada keluarga terutama orang tua si gadis untuk menyampaikan niat mempersunting anak gadisnya. Ikatan baru dianggap cukup kuat setelah terjadi mappetuada dan uang belanja sudah diserahkan.
Blunder kedua yang dilakukan Ali si Arjuna dari India ini adalah mengajak sang putri Bugis itu untuk kawin lari. Kawin lari dan membawa lari anak gadis di Sulsel adalah sebuah aib besar, orang itu sama saja telah menorehkan “siri’/malu” ke orang tua si gadis dan seluruh keluarga. Urusannya bisa sampai ke ujung badik.
Seandainya si Arjuna dari India itu memakai alternatif pendekatan dari sisi agama mungkin akan lain ceritanya. Wajo selain dikenal sebagai kampung para saudagar Bugis juga adalah tanah tempat penyemaian para ulama, dengan banyaknya pesantren dan sekolah-sekolah agama. Selain itu demi cintanya yang begitu besar hingga nekat terbang dari negeri India hingga ke tanah Bugis Wajo, si Arjuna dari India ini bisa melakukan akulturasi seperti pemain bola asing yang ingin berkarir di klub sepakbola tanah air menjadi pemain naturalisasi, dalam ilmu budaya dikenal istilah akulturasi.
Akulturasi adalah konsep proses sosial yang terjadi ketika sekelompok orang dari budaya tertentu dihadapkan pada unsur-unsur budaya asing yang secara bertahap diterima dan diserap ke dalam budaya mereka tanpa kehilangan kepribadian budaya mereka sendiri (Koentjaraningrat, 1990).
Problem interaksi antarbudaya adalah menerima dan mau beradaptasi atas perbedaan kebiasaan masing-masing. Perilaku-perilaku yang kelihatannya sepele seperti cara makan, cara begurau atau kebiasaan bertamu bisa jadi masaah besar seperti masalah pandangan nilai-nilai kehidupan. Bila tak terjalin pengertian maka akan serius urusannya. Itu tidak cukup dengan komunikasi terbuka masalah akan selesai begitu saja.
Kemungkinannya akan terjadi dominasi kebudayaan. Apalagi bila Arjuna dari India ini memilih untuk tinggal di Sulsel bila seandainya ia berhasil meminang putri Bugis dambaannya.(#)