Sebelum bulan kemerdekaan ini habis, saya hendak berbagi refleksi kecil-kecilan. Mungkin saja bisa jadi oase di tengah banyaknya gempuran janji-janji kesejahteraan politisi kita.
Setiap kali Indonesia merayakan kemerdekaannya, kemiskinan tetap subur keberadaannya. Apakah ini merupakan kekeliruan mendefinisikan "dipelihara" dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945? Pasal yang berbunyi "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara". Tentu bukan.
Kemiskinan merupakan masalah kita semua sebagai satu kesatuan umat manusia. Kita hampir selalu mencari solusi ketika diperhadapkan pada persoalan kemiskinan. Padahal definisi kemiskinan itu sendiri tidak kita ketahui dengan pasti. Tidak akan lahir solusi yang konkrit dari definisi yang tidak konkrit.
Apa yang kita anggap masalah mempengaruhi apa yang akan kita lakukan. Definisi kita tentang apa itu kemiskinan akan mempengaruhi kita dalam menentukan solusi. Jika definisi kita tentang kemiskinan keliru, maka solusi yang kita susun akan terdistorsi.
Persoalan ketidakpastian definisi kemiskinan baru-baru ini terjadi di Indonesia. Bagaimana definisi atas kemiskinan tersebut berubah, seketika angka kemiskinan pun langsung naik. Pada bulan Maret tahun 2023 Bank Dunia merekomendasikan angka kemiskinan yang digunakan Indonesia harus ditingkatkan. Kalau rekomendasi itu diterima, maka angka kemiskinan akan langsung naik jadi 40%. Sri Mulyani memberikan alasan kalau rekomendasi itu belum aplikatif dalam konteks Indonesia. Artinya Indonesia mempunyai indikatornya sendiri pada apa yang disebut kemiskinan.
Namun terlepas indikatornya ada atau tidak, satu hal yang pasti: untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan, maka yang perlu kita lakukan adalah membangun definisi atas kemiskinan yang konkrit.
Bank Dunia mendefisinikan kemiskinan adalah sebuah kondisi kurang sejahtera. Dalam penegetian kemiskinan adalah titik berangkat untuk sampai pada tujuan bernama kesejahteraan. Namun sama seperti seperti kemiskinan, kesejahteraan juga selalu menjadi persoalan. Tentang apa itu dan bagaimana kemiskinan itu diukur. Tidak adanya definisi yang mutlak tentang kesejahteraan dan kemiskinan, membuka peluang definisi keduanya dibangun dan disesuaikan dengan tujuan tertentu. Sehingga persoalan definisi kedua term tersebut menjadi persoalan ideologis.
Dalam konteks Indonesia, terdapat dua kemungkinan perspektif membangun definisi kemiskinan: apakah membangun definisi yang umum untuk diterapkan pada semua konteks kebudayaan ataukah membangun definisi kemiskinan secara relatif-partikulir, dalam pengertian setiap kehidupan sosial-budaya berbeda satu sama lain? Mengingat Indonesia adalah negara yang multikultur, yang sangat kental lokalitasnya.
Dari dua kemungkinan perspektif tersebut, definisi kemiskinan yang konkrit di dalamnya mesti merangkum penyebab utama kemiskinan yang memungkinkan segala jenis bentuk kemiskinan terjadi. Dengan kata lain menemukan substansi kemiskinan. Karena seringkali diasumsikan bahwa kemiskinan itu multidimensi karena memiliki banyak penyebab: ekonomi, politik, budaya, pendidikan, teknologi, dan lain sebagainya. Pada gilirannya definisi kemiskinan yang dibangun di atas asumsi ini cenderung membuat solusi-solusi parsial atas kemiskinan sehingga solusi-solusi tersebut tidak sinkron satu sama lain.
Permasalahan kemiskinan tidak pernah tuntas karena solusi atas kemiskinan tidak pernah menyasar substansinya. Menemukan substansi kemiskinan sebagai penyebab utamanya akan melampaui solusi-solusi parsial dan akan melahirkan sebuah exit strategy.
Kemerdekaan yang konkrit dimulai dari definisi kemiskinan yang konkrit!