0%
Rabu, 27 Juli 2022 17:06

Andi Sodji, Saksi Kekejaman Westerling

Raymond Westerling. foto: www.wikipedia.com
Raymond Westerling. foto: www.wikipedia.com

Di benak masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya wilayah Ajatappareng, Andi Sodji Petta Kanjenne dikenal sebagai istri dari Andi Abdullah Bau Massepe. Perempuan kelahiran 18 Maret 1921 itu merupakan putri dari Petta Ille dan Andi Nanga.

Ayahnya adalah seorang saudagar yang cukup terpandang di Pangkajenne, sedangkan Ibunya adalah perempuan cantik dari Sengkang.

Suatu hari di tahun 1933, Andi Sodji dipinang oleh Andi Abdullah Bau Massepe, putra dari Andi Mappanyukki, Raja Bone—yang setelah Indonesia merdeka adalah pendukung Republik Indonesia—dengan istrinya, Besse Arung Bulo, seorang bangsawan Sidenreng. Suaminya merupakan pewaris tahta dari dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Bone dan Gowa.

Mendukung Republik Indonesia

“Tanggal 19 Agustus 1945, Bau Massepe pulang tergopoh menyampaikan kabar kemerdekaan Republik Indonesia yang dia ketahui dari siaran radio. Berita itu kemudian dia sebarkan kepada seluruh rakyatnya di Kedatuan Suppa.” Tulis Ida Bichman dalam Majalah Sarinah No 50. Tentu, itu untuk mengobarkan semangat juang rakyatnya dalam mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.

Berdasarkan arsip yang tersimpan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigjen Iwan Dongherty mendarat di Makassar pada September 1945. Pendaratan tersebut merupakan bantuan dari tentara kesatuan Australia dengan membonceng tentara NICA (Nederland Indische Siviel Administratie) di bawah pimpinan Mayor J. G. Wegner dengan tujuan untuk melucuti tentara Jepang.

Namun, kedatangan Belanda tidak disambut baik oleh bangsa Indonesia. Sehingga terjadilah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda.
Rumah Andi Sodji di Parepare dijadikan kantor pusat Badan Penunjang Republik Indonesia (BPRI) yang didirikan Bau Massepe bersama teman-temannya.

Di sanalah Bau Massepe bersama anggota BPRI lainnya setiap hari mengadakan rapat dan merumuskan cara menghadapi NICA.

Setelah melakukan beberapa penyerangan dan perlawanan, pada 17 Oktober 1946, Bau Massepe akhirnya ditangkap dan dibawa ke Makassar. Seminggu setelah Bau Massepe ditahan, Andi Sodji berangkat ke Makassar bersama Bau Fatimah, putri bungsunya yang saat itu berusia tiga bulan.

Di Makassar, Andi Sodji setiap hari membawakan makanan dan bertemu dengan Bau Massepe. Setelah ditahan selama tiga bulan, karena tetap pada pendiriannya, pada pertengahan Januari 1947, Bau Massepe diangkut ke Pinrang untuk diadili.

Menjadi Saksi Kekejaman Westerling

Berdasarkan penuturan Bau Fatimah, pada malam tanggal 23 Januari 1947, dia ditangkap bersama Ibunya saat sedang tertidur. Tentara Belanda menyeret Andi Sodji keluar rumah dan menaikkannya ke atas truk terbuka bersama Bau Fatimah yang saat itu berusia enam bulan dan masih menyusu. Truk membawa mereka ke Parepare tanpa selembar atap pun yang bisa melindungi mereka dari siraman hujan lebat sepanjang jalan.

Andi Sodji bersama Bau Fatimah dimasukkan ke dalam sel penjara yang kecil dan gelap. Sepanjang malam, tidurnya tak tenang karena Bau Fatimah kedinginan dikarenakan pakaian mereka masih basah kuyup. Keesokan paginya, Andi Sodji dan Bau Fatimah dibawa ke Kariango, sekarang merupakan sebuah desa di Kabupaten Pinrang, 15 km dari Parepare.

Di Kariango, Andi Sodji disuruh menyaksikan penembakan massal pada “pengadilan jalanan” ala Westerling. Di tempat itu, Westerling dan pasukannya mempertontonkan satu per satu orang ditembaki.

“Semua disuruh duduk di rumput yang masih basah oleh embun. Laki-laki dikumpulkan menjadi satu, sementara perempuan dan anak-anak beberapa meter di belakang mereka. Sekira pukul dua belas, laki-laki dan perempuan dihalau dalam bentuk setengah lingkaran. Di tengah mereka bergelimpangan mayat orang yang telah ditembak mati.

Westerling berdiri di tengah kemudian berkata lantang ‘Siapa yang bersalah akan ditembak mati! Siapa yang menyembunyikan para ekstremis juga akan ditembak mati! Karena itu, saya sarankan kalian lebih baik bekerja sama. Tunjukkan di mana para ekstremis bersembunyi. Kalau tak ada yang mau diajak bekerja sama, kalian satu per satu akan ditembak mati!’” ujar Ida Bichman dalam Majalah Sarinah No. 50 berdasarkan wawancaranya dengan Andi Sodji.

Berdasarkan kesaksian Andi Sodji, setelah banyak orang terbunuh, sisa dari puluhan laki-laki yang masih hidup disuruh berbaris. Sepuluh orang pertama disuruh maju dan membuat barisan memanjang.

Kemudian sepuluh orang selanjutnya disuruh menggali tanah memanjang membentuk parit sedalam satu meter. Setelah selesai menggali, Westerling memerintahkan anak buahnya menembak mati kesepuluh laki-laki yang dijejerkan itu. Begitulah berturut-turut. Itu adalah pemandangan yang sedih sekaligus mengerikan.

Setelah acara pembantaian tersebut selesai, Westerling berdiri di hadapan Andi Sodji. “Mereka semua ditembak karena perbuatan suamimu yang meminta datang orang dari Jawa untuk menjajah kamu di Sulawesi ini.” Kata Westerling dengan nada dingin.

Dengan keberaniannya, Andi Sodji menatap tajam mata Westerling “Tuan salah.” Kata Andi Sodji penuh tekanan. “Bukan itu tujuan orang Jawa didatangkan suamiku kemari. Mereka diajak untuk bahu-membahu dengan rakyat Sulawesi untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.”

Kolom Populer