PORTALMEDIA.ID, MAKASSAR -- PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) menyebut klaim PT Hadji Kalla mengenai kepemilikan lahan seluas 16 hektare di kawasan Metro Tanjung Bunga adalah klaim yang tidak memiliki dasar hukum, bertentangan dengan dokumen resmi Pemerintah Republik Indonesia, dan tidak sesuai dengan fakta historis maupun administrasi pertanahan nasional yang berlaku sejak tahun 1991.

Presiden Direktur GMTD, Ali Said, dalam rilis terbarunya, kembali menegaskan bahwa kewenangan GMTD di kawasan tersebut bertumpu pada keputusan negara.
Empat SK pemerintah yang terbit sejak 1991 disebut menetapkan perusahaan itu sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengurus dan membebaskan tanah di kawasan tersebut.
Baca Juga : DPRD Sulsel Telusuri Dugaan Manipulasi GMTD: Saham Pemda Disebut Tergerus
"Dasar hukum kawasan Tanjung Bunga telah ditetapkan melalui dokumen negara, bukan klaim sepihak. Ini berdasarkan SK Menteri PARPOSTEL tahun 1991 hingga SK Gubernur tahun 1995," tegasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Senin (17/11).
GMTD menegaskan bahwa pengembangan kawasan Tanjung Bunga sejak awal dilakukan sebagai proyek kepentingan publik yang ditetapkan pemerintah untuk Makassar-Gowa.
Lebih lanjut, Ali menjelaskan bahwa mandat tunggal yang diterima GMTD pada 1991, merupakan bagian dari kebijakan pembangunan nasional untuk membuka kawasan wisata, terpadu, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, hingga menghadirkan investasi di tengah keterbatasan anggaran pemerintah saat itu.
Baca Juga : PT Hadji Kalla Tegaskan Penguasaan Fisik dan Legalitas Lahan 16 Ha
Ali juga menilai, sejumlah infrastruktur dasar di Tanjung Bunga, mulai dari akses, jalan, pematangan lahan, dan fasilitas pendukung merupakan investasi awal perusahaan yang kemudian menjadi fondasi hadirnya berbagai pembangunan lain di kawasan tersebut.
"Penting untuk dipahami publik bahwa tanpa mandat pemerintah kepada PT GMTD, kawasan ini tidak akan berkembang seperti hari ini," serunya.
Klaim PT Hadji Kalla yang disebut telah menguasai secara fisik lahan di Jalan Metro Tanjung Bunga sejak 1993, kata Ali, adalah tidak relevan secara hukum.
Karena, menurut Ali, pada tahun tersebut kawasan masih berupa rawa dan tanah negara, tidak ada pasar tanah, tidak ada izin lokasi lain selain PT GMTD, dan tidak ada satu pun SK atau izin pemerintah yang memberikan hak kepada pihak lain.
"Dalam hukum agraria Indonesia, penguasaan fisik tidak melahirkan hak kepemilikan tanpa izin pemerintah.
Karena itu, klaim penguasaan fisik tidak dapat mengalahkan dokumen negara," ujarnya.
Baca Juga : Kuasa Hukum PT Hadji Kalla Bantah Klaim Bos Lippo Soal Kepemilikan GMTD
GMTD juga meminta agar PT Hadji Kalla menunjukkan dasar hukum penerbitan SHGB yang diterbitkan BPN pada periode 1991-1995.
Ali menyebut legalitas objek tanah yang tercantum dalam SHGB itu perlu diuji, sebab kawasan Tanjung Bunga pada periode tersebut dalam mamdat tunggal pemerintah kepada GMTD.
Adapun, jika SHGB tersebut diterbitkan tanpa izin lokasi, IPPT, persetujuan gubernur, pelepasan hak negara, dan tanpa persetujuan PT GMTD (pemegang mandat tunggal), lanjut Ali, maka SHGB tersebut dapat dibatalkan secara administratif, tidak menciptakan hak kepemilikan yang sah, dan tidak dapat digunakan untuk mengklaim lahan negara yang telah dicadangkan terlebih dahulu.
Baca Juga : Kalla Tegaskan Kepemilikan Sah Lahan di Metro Tanjung Bunga, Minta Pengadilan Tunda Eksekusi
"PT GMTD mempersilahkan PT Hadji Kalla untuk menunjukkan dasar hukum penerbitan SHGB itu pada periode 1991–1995. Kami meyakini dokumen tersebut tidak pernah ada, karena memang tidak pernah diterbitkan," sebutnya.
Selain itu, GMTD juga menyoroti klaim pembebasan lahan seluas 80 hektare yang disebut dilakukan pada 1980-an.
Menurut Ali, klaim tersebut tidak memiliki catatan pada arsip pemerintah.
Faktanya, Ali merinci, normalisasi Sungai Jeneberang adalah kontrak pekerjaan, bukan perolehan hak atas tanah.
Baca Juga : Munafri Ajak GMTD Bersinergi dengan Pemkot Perluas Akses Jembatan Barombong
Selain itu, disebutkan tidak pernah ada pencadangan tanah untuk Kalla, tidak ada SK Gubernur terkait pemberian hak, serta tidak terdapat pencatatan pembebasan tanah di BPN, Pemprov Sulsel, maupun Pemkot Makassar.
"Menghubungkan pekerjaan sungai dengan klaim kepemilikan tanah adalah tidak akurat dan menyesatkan publik," serunya.
Ali menyebut GMTD membuka ruang dialog dan komunikasi konstruktif dengan seluruh pihak selama berada dalam koridor hukum.
Namun, ia menegaskan tidak ada kompromi dalam hal kepatuhan terhadap SK Pemerintah, sertifikat BPN, dan putusan pengadilan. Serta Integritas hukum kawasan Tanjung Bunga adalah mandat publik dan wajib dijaga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News