PORTALMEDIA.ID - Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki fase baru setelah disepakati jalan islah melalui Muktamar sebagai forum tertinggi organisasi.

Kesepakatan ini dinilai sebagai langkah konstitusional untuk mengakhiri ketegangan yang selama berbulan-bulan mengemuka di tubuh jam’iyyah NU.
Kesepakatan tersebut lahir dari rapat konsultasi Syuriyah PBNU kepada Mustasyar yang digelar di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (25/12/2025).
Baca Juga : PBNU Perkuat Layanan Gizi Pesantren, Salurkan MBG untuk 100 Ribu Santri
Rapat dihadiri Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar bersama jajaran Syuriyah dan para sesepuh NU.
Rapat menetapkan Muktamar Ke-35 Nahdlatul Ulama akan diselenggarakan secepatnya oleh Rais Aam PBNU bersama Ketua Umum PBNU, dengan melibatkan Mustasyar, kiai sepuh, serta pengasuh pesantren dalam penentuan waktu, tempat, dan kepanitiaan.
Anggota Majelis Penasihat Organisasi IKA PMII, Idrus Marham, menyambut positif keputusan tersebut. Ia menilai Muktamar merupakan satu-satunya jalan bermartabat dan konstitusional untuk menyelesaikan konflik internal NU.
Baca Juga : Doa dan Sholawatan Satukan Pimpinan PBNU Pasca-Islah
“NU itu bukan milik kelompok atau individu. NU adalah rumah besar umat Islam Indonesia, benteng marwah ulama, dan pilar penting bangsa. Karena itu, penyelesaian konflik harus dikembalikan ke mekanisme tertinggi organisasi, yakni Muktamar,” ujar Idrus saat dihubungi, Kamis.
Menurut Idrus, keputusan menempuh jalan Muktamar menunjukkan kedewasaan NU dalam menyikapi perbedaan. Ia menilai para ulama telah memilih pendekatan wasathiyah yang mengedepankan musyawarah, adab, dan kepentingan yang lebih besar.
“Ketika NU memilih jalan Muktamar, itu artinya NU sedang mengajarkan bangsa ini tentang etika berorganisasi, tentang adab dalam berbeda, dan tentang cara menyelesaikan konflik dengan kepala dingin, bukan emosi,” katanya.
Baca Juga : PBNU Nilai Wacana Kembalikan Konsesi Tambang Bukan Solusi Tunggal
Idrus mengingatkan, konflik berkepanjangan hanya akan melemahkan peran strategis NU di tengah tantangan kebangsaan yang semakin kompleks. Ia menegaskan NU tidak boleh terseret dalam konflik kepentingan sempit, baik kekuasaan maupun usaha.
“Kalau NU diseret ke konflik kepentingan, yang dirugikan bukan hanya warga NU, tapi bangsa Indonesia. Sejarah membuktikan, ketika NU kuat dan bersatu, Indonesia stabil,” tegasnya.
Ia juga mengapresiasi langkah para Mustasyar, sesepuh, dan alim ulama NU yang konsisten mendorong islah melalui berbagai forum musyawarah di pesantren. Menurut Idrus, keteladanan para kiai tersebut menjadi kunci tercapainya kesepakatan menuju Muktamar.
Baca Juga : Kiai Sepuh NU Beri Batas Waktu Islah, Gus Yahya Diminta Bertemu Rais Aam
“Para kiai telah memberi teladan kepemimpinan yang sejati. Mereka tidak mencari menang-kalahan, tetapi kemaslahatan jam’iyyah. Inilah wajah NU yang sebenarnya,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, konflik di tubuh PBNU bermula dari perbedaan sikap terkait pemberhentian Ketua Umum PBNU oleh Rais Aam melalui Rapat Syuriyah. Perbedaan tersebut memicu ketegangan berkepanjangan dan bahkan memunculkan wacana Muktamar Luar Biasa apabila islah tidak tercapai.
Kesepakatan menuju Muktamar Ke-35 NU menandai berakhirnya fase konfrontasi dan dimulainya rekonsiliasi berbasis konstitusi jam’iyyah. Dalam pandangan Idrus, AD/ART NU harus menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan persoalan internal.
Baca Juga : Idrus Marham Tegaskan Tidak Ada Agenda Ganti Bahlil di Rapimnas Golkar
“Konstitusi NU itu harus menjadi pegangan bersama. Di situlah semua perbedaan dikembalikan dan diselesaikan secara sah dan bermartabat,” kata Idrus.
Ia berharap Muktamar mendatang benar-benar menjadi titik balik bagi NU untuk kembali solid dan fokus menjalankan peran keumatan serta kebangsaan.
“Muktamar ini bukan sekadar memilih pemimpin, tetapi mengembalikan ruh NU: ukhuwah, keikhlasan, dan khidmat untuk umat dan bangsa,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News