0%
Minggu, 05 Februari 2023 21:48

Mengokohkan Spirit Perjuangan Lafran Pane di Usia 76 Tahun HMI

ist
ist

Tepat pada 05 Februari 1947, seorang tokoh, mahasiswa pada zamannya, penggerak perjuangan bangsa, Lafran Pane, mendirikan sebuah organisasi kemahasiswaan yang kemudian hari ini dikenal dengan nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sosok tokoh yang dikenal dengan penuh kesederhanaan, cerdas, kritis, dan visioner itu mendirikan HMI semata-mata sebagai sentralitas perjuangan Mahasiswa di berbagai pelosok negeri dalam menjaga Kemerdekaan Bangsa, meninggikan rakyat Indonesia, dan menegakkan ajaran Islam.

Walaupun HMI didirikan dua tahun setelah Kemerdekaan Indonesia, tetapi bukan berarti Lafran Pane tidak menemukan gejolak kebangsaan. Apalagi di tahun 1947 isu-isu kebangsaan, kenegaraan, hingga pada persebaran macam-macam ideologi di berbagai sektoral dan di dalam lingkungan kampus masih sangat kental. Tapi walaupun demikian, sebagai sosok yang kritis dan tangguh dengan spirit keislaman dan keindonesiaannya, Lafran Pane mampu melewati itu semua.

Ia mengibarkan bendera HMI dan membawa kiprah HMI sebagai organisasi yang betul-betul memiliki prinsip di zamannya. Bahwa berpegang teguh pada kebenaran adalah jalan juang HMI yang tidak bisa ditawar. Sosok leluhur HMI itu tidak bisa dipisahkan dalam perkembangan HMI dari zaman ke zaman. Selain menjadi pendiri HMI, ia juga menjadi role model yang menanamkan prinsip dasar spirit perjuangan bagi seorang kader HMI.

Lafran Pane menegaskan, bahwa kemana pun seorang kader HMI melangkahkan kakinya itu tidak mengapa, asalkan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Penegasan ini bukan sebatas kata-kata saja, tetapi ini adalah bagian dari cara Lafran Pane menanamkan spirit perjuangan ala HMI.

Apa yang diungkapkan dan ditanamkan oleh sang pemrakarsa HMI itu, sangat fenomenal bagi seluruh warga hijau hitam sampai saat ini.

Namun, pada dasarnya bukan seberapa banyak kader yang tahu ungkapan itu, tetapi seberapa banyak kader yang mampu mengejewantahkan maknanya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai organisasi yang latar belakangnya adalah Islam dan menjadi bagian dalam menyumbang gagasan besar terhadap Indonesia, wajar saja jika nilai-nilai Keislaman dan keindonesiaan diadopsi sebagai sebuah nilai dalam spirit perjuangan HMI.

Di usia HMI yang ke-76 Tahun ini, kita perlu kembali merefleksi dan membincangkan sejauh mana HMI mengadopsi kedua nilai tersebut.

HMI dan Nilai-Nilai Keislaman

Nilai-Nilai keislaman yang ditekankan oleh Lafran Pane, bukan hanya karena seseorang memiliki label agama Islam, bukan pula karena seseorang mengakui adanya Allah SWT sebagai sang Pencipta. Lebih dari itu, menurut penulis, nilai-nilai keislaman yang didengungkan oleh Lafran Pane sejatinya adalah pengejewantahan makna Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin. Bahwa, keseluruhan hidup kita sebagai seorang muslim seyogyanya tunduk dan patuh pada kebenaran.

Artinya, nilai-nilai keislaman mengindikasikan karakter seorang muslim yang tidak sekadar menjalankan ritual agama, tetapi juga berperan aktif dalam menciptakan ketenangan di tengah keonaran, atau menjadi peneduh di tengah kompleksitas realitas masyarakat yang sangat beragam.

Dalam konteks HMI, Lafran Pane melalui spirit keislaman menanamkan sebuah prinsip, bahwasanya kader HMI tidak boleh kolot dalam menafsirkan Islam, pun tidak boleh eksklusif dalam mengejewantahkan Islam. Kader HMI harus mampu mempraktikkan Islam sebagai sebuah pedoman hidup yang inklusif dan memiliki keterkaitan dengan manusia dan kebudayaannya.

Sebab, menurut Lafran Pane, Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lainnya, antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, dari masyarakat paling kecil hingga pada tataran negara.

Saking pentingnya spirit keislaman yang diproklamirkan oleh Lafran Pane, oleh Nurcholish Madjid dielaborasinya ke dalam suatu kerangka pikir HMI yakni Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Yang mengandung kompleksitas konsepsi kehidupan mulai dari Ketuhanan/Ketauhidan, alam semesta, sosial, ekonomi, kemanusiaan, pengetahuan, dan aspek-aspek lainnya. Pengelaborasian nilai keislaman ke dalam NDP HMI tidak lain dan tidak bukan agar kader-kader HMI berpegang teguh pada Islam itu sendiri.

Oleh sebab itu, sebagai sebuah organisasi yang di isi oleh individu-individu muslim berjiwa akademis, HMI di usianya yang ke-76 Tahun ini selayaknya menjadi patron dalam mengaktualkan Islam Rahmatan Lil Alamin di setiap nafas dan geraknya. Agar HMI dapat berkontribusi terhadap bangsa dan negara dalam mengentaskan segala bentuk kesenjangan, kejumudan pengetahuan, pemikiran, eksklusifitas agama, dan persoalan-persoalan lainnya.

Islam dan Keindonesiaan dalam Gerak HMI

Keindonesiaan tidak boleh dipahami hanya sebatas keterikatan teritorial dari Sabang sampai Merauke. Tetapi harus dipahami sebagai keseluruhan realitas kebudayaan Bangsa Indonesia yang secara praktis terjewantah dalam keberagaman. Sebagai sebuah bangsa besar yang penuh keberagamaan, bangunan kebudayaan kita tidak lepas dari persepsi kita tentang Sang Pencipta, alam semesta, dan manusia itu sendiri. Semuanya bermuara pada keindahan, kedamaian, ketentraman, atau yang pada istilahnya kita kenal sebagai budi pekerti luhur.

Karena itu, bagi Lafran Pane, esensialisme kebudayaan Bangsa Indonesia tidak lepas dari nilai-nilai Keislaman. Yaitu sama-sama memiliki kecenderungan terhadap segala bentuk kebenaran dan kebaikan. Dalam kaitannya dengan HMI, Lafran Pane menaruh harapan besar terhadap HMI agar mampu mencetak seorang muslim yang berjiwa Nasionalis dan berkarakter Islam. Itulah sebetulnya yang ingin dielaborasi oleh Lafran Pane melalui spirit perjuangan keislaman dan keindonesiaan.

Maka dari itu, kader-kader HMI sangat perlu menanamkan dalam dirinya akan pentingnya merawat keberagamaan, menjaga keutuhan NKRI, dan terlibat dalam melakukan rekayasa sosial yang berdasar pada muatan-muatan keislaman. Setidaknya, HMI bisa menghadirkan kesadaran masyarakat untuk melawan segala bentuk kedzliman yang nampak.

Untuk mewujudkannya, tentu itu semua harus diaktualkan di setiap gerak HMI. Baik dalam nuansa kaderisasi, ataupun gerakan HMI yang lainnya. Bahwa setiap gerak HMI, selain untuk kepentingan pengembangan organisasi, juga harus memuat kepentingan bangsa dan Negara yang bermuara pada hal-hal baik.

Lalu, bagaimana keislaman dan keindonesiaan dalam gerak HMI hari ini?

Kalau kita melihat HMI hari ini, sepertinya fokus terhadap kepentingan rakyat agak sedikit memudar. Hal itu dikarenakan banyaknya kepentingan-kepentingan dalam tubuh HMI yang kadang kala sibuk berebut kekuasaan. Tak jarang kita menjumpai kondisi HMI yang penuh gejolak internal lantaran kepentingan terhadap rakyat teralihkan kepada kepentingan yang lainnya. Sehingga nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan tidak terjewantah dengan sepenuhnya.

Misalnya dalam sejarah perkembangan HMI, salah satu contoh kasus terburuk yang pernah dialami oleh HMI akibat dari adanya kehausan kekuasaan adalah dualisme kepemimpinan. Dualisme kepemimpinan yang pernah terjadi dalam tubuh HMI, sama sekali bukan gerak HMI yang mengandung khidmat terhadap rakyat. Padahal, dalam peralihan kepemimpinan HMI biasanya mengangkat tema tentang kebangsaan, keislaman, dan keindonesiaan. Tetapi secara praktis justru tidak mencerminkan keislaman dan keindonesiaan.

Itu adalah contoh kasus yang tidak boleh terulang kembali, bahkan jika perlu semua kader dan pembesar HMI harus berkomitmen dan berprinsip untuk menghilangkan hal-hal seperti itu dalam perkembangan HMI. Karena menjadi momok bagi HMI, apabila kita yang hendak menciptakan kedamaian bangsa, tetapi justru kita yang berkonflik di tengah kehidupan masyarakat. Kita yang hendak menciptakan masyarakat adil makmur, tetapi justru kita sendiri yang terjebak dalam kejumudan.

Hal tersebut penting menjadi refleksi kritis untuk kita semua, agar HMI dapat lebih fokus melanggengkan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, karena apabila HMI tidak lagi memikirkan nasib rakyat, tidak lagi meninggikan derajat rakyat, tidak lagi berpegang teguh pada Islam, tidak lagi patuh dan tunduk terhadap Tuhan, tidak lagi ingin terlibat menjaga harmonitas masyarakat, maka niscaya masyarakat adil makmur yang dicita-citakan hanyalah angan-angan atau hayalan semata.

Oleh karenanya itu, di usianya yang ke-76 Tahun, HMI harus lebih banyak mengamati, memperhatikan, dan memperjuangkan persoalan-persoalan keumatan ketimbang urusan politik internal HMI. Jika perlu, HMI sebaiknya terjun langsung ke masyarakat untuk melihat langsung kondisi sosialnya. Apalagi pada peringatan hari jadi kali ini, HMI mengangkat tema “Khidmat HMI Untuk Masa Depan Peradaban”.

Kolom Populer