Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa tanah yang dibiarkan tidak digunakan atau tanah terlantar selama dua tahun berpotensi diambil alih negara. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.
Ini meliputi Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan (HPL), dan Hak Pakai. Ia mencontohkan, pada lahan berstatus HGU dan HGB, pemilik wajib melampirkan proposal usaha, rencana bisnis, hingga studi kelayakan saat pendaftaran. Umumnya, HGU digunakan untuk perkebunan, sedangkan HGB diperuntukkan bagi pembangunan perumahan, ruko, dan pusat perbelanjaan. (Kompas.com, 17 Juli 2025)
Jika tidak ada perkembangan usaha dalam waktu dua tahun, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN akan menginventarisasi dan mengidentifikasi lahan tersebut sebagai potensi tanah telantar.
Keputusan ini cukup meresahkan para pemilik usaha. Tentunya meski dengan syarat-syarat pengalihan kepemilikan tentu tetap saja hal itu akan mendzolimi rakyat secara umum.
Di dalam sejarah, Rasulullah SAW dan para Khalifah setelah beliau telah mengelola dan mengatur harta milik negara dengan maksimal untuk mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim. Hanya saja, walaupun Khalifah berhak mengelola harta milik negara, negara tidak boleh memposisikan dirinya sebagai pedagang, produsen, atau pengusaha untuk mengambil keuntungan dari rakyatnya.
Kedudukan Negara tetaplah sebagai pengatur. Oleh karena itu, dalam pengelolaan harta-harta kepemilikan negara tersebut, aspek yang ditonjolkan adalah pengaturan urusan masyarakat (ri’ayah), merealisasikan kemaslahatan rakyat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat.
Bukan berorientasi pada bisnis dan mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya. Tujuan utama dari pengelolaan harta milik negara oleh negara adalah pengaturan (ri’ayah). Bukan mencari keuntungan.
Dalam Islam, boleh saja Khalifah atau kepala negara meminta kepada rakyat, yang merupakan pemilik tanah, untuk menjual tanah miliknya kepada negara. Namun, itu semua dilakukan harus benar-benar untuk kemaslahatan umat dan tetap harus dalam persetujuan pemilik tanah. Tidak boleh negara memaksa rakyat pemilik tanah meskipun bisa jadi di atas tanah itu akan dibangun untuk kebaikan.
Adapun terkait tanah-tanah milik individu, negara akan memberikan proteksi kepada setiap individu yang memiliki tanah. Negara menerbitkan sertifikat kepemilikan tanah kepada pemilik tanah, untuk memudahkan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya, sekaligus melindungi dari para penjarah.
Larangan Menguasai Tanah Kaum Muslim
Penguasaan dan kepemilikan seseorang terhadap harta termasuk perkara yang wajib dilindungi dalam Islam. Tidak seorang pun boleh melanggar atau merampas milik orang lain. Pasalnya, harta termasuk privasi yang wajib dihormati, sebagaimana darah dan kehormatan.
Islam telah menurunkan sejumlah aturan yang ditujukan untuk melindungi harta milik seseorang. Islam mengklasifikasi kepemilikan pribadi, negara dan umum dengan pengelolahan masing-masing.
Dengan aturan ini, pemilik harta terlindungi dari semua pihak yang berusaha mengambil, merampas atau menggunakan harta miliknya tanpa ijinnya, baik individu, kelompok, dan negara.
Aisyah ra. Berkata, Rasulullah saw. Bersabda:
Siapa merampas (secara zalim) sejengkal tanah milik orang lain, niscaya Allah akan mengalungkan tujuh lapis bumi kepadanya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Negara tidak boleh menguasai tanah kaum Muslim yang bersifat pribadi, baik langsung maupun tidak langsung. Negara tidak boleh menjual zat tanah maupun manfaatnya kepada orang asing; baik individu, perusahaan, atau atas nama negara asing demi kepentingan bisnis untuk keuntungan negara dan pihak asing.
Islam melarang merampas tanah milik individu, namum Islam pun memberikan aturan untuk senantiasa mengelolah kepemilikan tanah pribadi untuk kemaslahatan individu dan masyarakat.
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu menjadi miliknya, dan tidak ada hak bagi orang yang memagari (tanah mati) setelah tiga tahun (HR Abu Yusuf dalam Al-Kharaj).
Islam melarang tanah pertanian diterlantarkan lebih dari tiga tahun tanpa digarap. Meskipun Islam mendorong untuk menggarap tanah, jika diterlantarkan lebih dari tiga tahun, maka tanah tersebut akan disita negara dan diberikan kepada mereka yang mau menggarapnya. Bukan di ambil alih oleh negara.
Khalifah Umar ra. Berkata, “Orang yang membiarkan tanahnya selama tiga tahun dan tidak mengelolanya, lalu datang orang lain dan mengelolanya maka orang itu berhak atasnya.”
Inilah sistem agraria dalam sistem Islam, mulai dari pengaturan sistem kepemilikan (individu, umum dan negara) hingga larangan negara merampas hak milik tanah rakyat akan berjalan dengan baik oleh pemimpin dan sistem yang baik.
Sistem Islam dalam kebijakan agraria/pertanahan ( sistem ekonomi secara umum) tidak mungkin terlaksana dengan baik dan sempurna dalam sistem politik kapitalis sekuler. Karena realitanya, sistem kapitalisme hanya akan mencari kemaslahatan materi dengan keuntungan sebesar-besarnya bukan tujuan pengaturan urusan umat (ria’yah). Kebijakan agraria dalam Islam membutuhkan kekuatan politik yaitu sistem yang berdiri berdasarkan sistem Islam yang paripurna.