Untuk kesekian kalinya, kita masyarakat Indonesia diuji dengan ugal-ugalan. Terakhir, saat Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara mengenai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden Pilkada yang membahas soal usia bakal calon presiden, masyarakat tidak begitu ambil pusing. Putusan berbau politis untuk kepentingan keluarga ini menjadi tamparan keras bagi iklim demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, masyarakat sudah jengah dengan perilaku para begundal politik yang haus kuasa untuk anak cucunya.
Kali ini, amarah yang terlalu lama dipendam sepertinya perlu diluapkan. Massa penolak kebijakan anggota legislatif yang gila hormat dan jabatan akan mulai mengatur barisan. Dari Jakarta yang tidak lagi menjadi ibukota negara hingga kota-kota besar lainnya. Lalu di kota-kota kecil lainnya harus seperti apa? Cukupkah diam menjadi penonton atau turut bersuarakan menyampaikan kegeramannya?
Perubahan sosial tidak terjadi tanpa adanya gerakan sosial untuk melawan kelompok elite, menyuarakan tuntutan, dan atas dasar solidaritas bersama (Rose, 1977) yang sudah terlalu sering dimanfaatkan oleh segelintir orang yang menganggap dirinya raja-raja kecil di muka bumi. Gerakan sosial yang terjadi dalam kurun waktu yang lama terbukti telah banyak melahirkan perubahan fundamental di tempat masing-masing. Meskipun, tidak bisa dipungkiri ada gerakan sosial yang melahirkan konflik-konflik berkepanjangan.
Kondisi di atas, perlu menjadi pembelajaran tersendiri untuk kita, kaum terdidik (mahasiswa, dosen, akademisi lainnya) untuk turut serta bergabung dalam gerakan menentang dan berupaya mendorong perubahan kebijakan publik ke arah yang lebih baik untuk negara tercinta ini. Catatan sejarah tumbangnya rezim dan berubahnya kebijakan menjadi cerita manis bagi gerakan sosial yang digawangi mahasiswa di Indonesia.
Jauh sebelumnya, kaum cendekiawan sudah mengambil peran dalam ragam upaya mengguggat kebijakan pemerintah yang tidak pro pada rakyat kecil. Sebut saja di tahun 1974 ada gerakan Mahasiswa Menggugat untuk mengecam kenaikan BBm dan korupsu yang merajalela, lalu adanya Peristiwa Malari di tahun 1972 tepat saat kedatangan Perdana Menteri Jepang untuk membuka peluang investasi di Indonesia.
Dibungkamnya gerakan mahasiswa dengan hadirnya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupa Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan oleh pemerintahan Orde baru pada tahun 1978, tidak menyurutkan mahasiswa terus bersuara (meski dalam ruang terbatas). Puncaknya, gerakan mahasiswa kembali bergaung saat mengawal isu Reformasi Tahun 1998, dengan tuntutan agar Soeharto lengser dari batannya. Tindakan ini harus memakan banyak korban pada Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Tragedi Lampung, dan tragedi lainnya yang memukul telak mahasiswa akibat represi dari militer. Lengsernya pemerintah Orde Baru tidak menyurutkan gerakan mahasiswa, setidaknya hingga gerakan Penolakan UU Cipta Kerja Tahun 2020. Lalu kemana mahasiswa dan kaum intelektual setelahnya?
Mahasiswa kembali disibukkan dengan urusan akademik yang tidak berkesudahan dan urusan yang bersangkut paut dengan internal kampus. Pengawalan isu yang serampangan, kajian yang tidak mendalam, metode aksi yang itu-itu saja membuat gerakan mahasiswa seperti mati suri dan tidak mendapat atensi dari masyarakat sekitar. Ditambah tuntutan penyelesaian studi dalam waktu yang singkat, membuat mahasiswa semakin disibukkan oleh urusan personal atau kepentingan kelompoknya saja.
Belum lagi dosen yang seharusnya memberikan gambaran kepada mahasiswa (paling tidak sebagai orang yang terlebih dahulu mengenal dunia kampus) tentang peran dan fungsi mahasiswa sesungguhnya sebagai agent of change dan moral force harus apatis karena kesibukan mengurus akreditasi, ikut marathon menyiapkan RPS dan bahan ajar, mengejar target penerbitan artikel ilmiah di scopus, kemudian kepanitiaan yang tidak henti-hentinya. Beberapa masih ada yang sadar, tetapi tangannya terikat karena merasa suara tidak didengarkan dan takut mendapat surat teguran.
Hal ini tentu sangat bertentangan dengan peran kaum terdidik yang dipaparkan oleh Antonio Grasmci sebagai kaum yang mengembangkan pendidikan kritis dengan perannya mencipta dan mendorong perubahan sosial, meng-counter hegemoni, dan membangun kesadaran kolektif bagi masyarakat.
Lalu siapa yang harus mengawal permasalahan ini semua? Di tengah masyarakat yang sudah tidak lagi begitu peduli dengan kondisi sekitar. Katanya, “Toh siapapun yang berkuasa, hidup kami hanya begini-begini saja.”
Seharusnya sebuah gerakan sosial memiliki lima S yang dijelaskan Jalaluddin Rachmat dalam bukunya Rekayasa Sosial, yaitu Sebab, Sang Pelaku, Sasaran, Saluran, dan Strategi. Kelima unsur tersebut sudah terpenuhi untuk memulai sebuah gerakan sosial. Yang perlu dipertajam adalah saluran dan strategi aksi yang digunakan, sehingga dapat melibatkan sebanyak mungkin masyarakat. Sekiranya mahasiswa dan seluruh kaum cendekiawan termasuk dosen perlu berani berdiri paling depan bersama masyarakat.
Kaum cendekiawan yang berada di mana pun harusnya hadir menjadi agen pencerahan dengan kapasitas keilmuan dan kebijaksanaannya. Tidak perlu melihat ini isu global, nasional, atau regional. Kaum terdidik yang ada di kota-kota kecil perlu turut andil, menghadirkan gerakan berupa aksi sosial sesuai kapasitas dan lokalitas masing-masing, tanpa perlu mencari tahu, apakah kita akan diliput atau tidak. Karena sebenarnya kita sudah dapat membuat reportase sendiri dari akun media sosial kita masing-masing.
Harusnya kita paham, gerakan sosial yang sedang dan akan berlangsung bukan sekedar meramaikan, tetapi sebagai upaya menyadarkan diri kita dan seluruh masyarakat Indonesia (termasuk di kota kecil) bahwa KITA SEDANG TIDAK BAIK-BAIK SAJA. Kita harus menjadi kaum terdidik yang berani kritis dan mampu membangun kesadaran kolektif untuk menghadirkan kehidupan ADIL dan BERADAB.
Maka bersatulah, saling berangkulanlah. Mari kita melakukan gerakan sosial sebagai bentuk kepedulian atas kengerian yang tengah kita hadapi. Mari kita tunjukkan sebagai kaum cendekia, kita tidak lagi hidup di menara gading atau hidup seperti katak dalam tempurung yang sibuk mencerdaskan atau memperkaya diri sendiri, dan tidak lupa bahwa kita punya tanggung jawab sosial bagi masyarakat yang sedang diuji mendapatkan pemimpin yang begitu rakus.