0%
Senin, 22 Agustus 2022 14:11

Mempertegas Kembali Beda Seks (Jenis Kelamin) dan Gender

Ilustrasi
Ilustrasi

Beberapa waktu lalu, dunia maya cukup dihebohkan dengan beredarnya video pengusiran mahasiswa baru di acara pengenalan dan orientasi di salah satu kampus negeri di kota Makassar. Seperti biasa netizen akan terpecah menjadi dua kubu, ada yang mendukung perlakuan dosen sekaligus pejabat fakultas, tetapi tidak sedikit juga yang memberikan simpati dan empati ke mahasiswa baru tersebut.

Terlepas dari dua kubu yang bertolak belakang ini, ada hal yang paling penting dan harus dipahami bersama, agar kejadian ini tidak digiring pada isu-isu sensitif bahkan menyudutkan pihak terkait secara personal. Hal ini mungkin saja membuat kedua belah pihak tidak lagi mis-konsepsi dan bisa duduk bersama membincangkan permasalahan ini dengan kepala dingin. Pada akhirnya, orang-orang dapat belajar lebih bijak dan tidak menghakimi hanya karena seorang laki-laki memegang kipas akibat kepanasan atau saat seorang perempuan jago bela diri dan terkesan keras.

Meskipun isu ini sudah terbilang lama diwacanakan, tetapi kejadian kemarin menunjukkan hal ini masih patut untuk dibahas kembali, yaitu menyoal berbedanya sex (jenis kelamin) dan gender. Tidak sedikit di masyarakat kita hari ini menyamakan kedua konsep tersebut, bahkan menganggap keduanya saling melekat satu sama lain dan sebagai sebuah fitrah yang tidak dapat dipertukarkan.

Nyatanya hal ini merupakan dua konsep yang berbeda.

Meminjam pemikiran Mansour Fakih yang ditulis pada buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2008), sex atau jenis kelamin dimaknai sebagai pembagian dua jenis kelamin manusia yang dipengaruhi oleh faktor biologis. Seperti laki-laki itu memiliki penis dan mampu memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki rahim, saluran untuk melahirkan, mampu memproduksi telur, memiliki vagina, dan mampir menyusui. Dalam konteks ini, alat-alat reproduksi yang disebutkan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Tentu saja hal ini melekat secara permanen dan menjadi kodrat laki-laki maupun perempuan.

Lalu gender merupakan suatu sifat yang melekat pada diri laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi oleh budaya maupun sosial. Kata kunci di sini adalah "dikonstruksi secara sosial", sehingga sifat yang melekat sangat fleksibel dan sesungguhnya dapat dipertukarkan sesuai konteks sosial budaya. Contohnya di dalam masyarakat sifat lemah, lembut, emosional biasa dilekatkan kepada perempuan. Namun, bagi laki-laki biasa dilekatkan dengan sifat keras, tegas, rasional, dan perkasa.

Sifat-sifat yang disebutkan di atas tidak melekat secara permanen dalam diri satu jenis kelamin tertentu saja. Bisa saja laki-laki jauh lebih gemulai gestur tubuhnya dibandingkan perempuan, sebaliknya perempuan bisa jauh lebih kuat perkasa dibandingkan kebanyakan laki-laki. Dengan kata lain, tidak ada sifat-sifat yang melekat sepenuhnya pada diri laki-laki maupun perempuan. Karena sifat tersebut sangat fleksibel dan dimiliki oleh siapa saja.

Secara umum dan meluas memang terdapat beberapa perbedaan gender yang sudah pakem dalam masyarakat karena hal tersebut telah lama dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran agama atau aturan yang berlaku. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat menganggap perbedaan gender sama dengan jenis kelamin merupakan sesuatu yang bersifat kodrati (tidak dapat dipertukarkan). Padahal keduanya sama sekali tidak menjadi bagian dari satu sama lain.

Kita perlu memahami dengan jelas letak perbedaan gender dan seks ini, agar kejadian di salah satu kampus negeri di Makassar ini tidak lagi berulang. Masyarakat harus memahami bahwa sifat yang dianggap kodrat itu nyatanya dapat dipertukarkan dan tidak paten dimiliki oleh jenis kelamin tertentu.

Perbedaan gender ini tidak akan menjadi sebuah masalah, jika tidak menimbulkan ketidakadilan gender. Tidak hanya dialami oleh perempuan, laki-laki yang memiliki sifat di luar kenormalan masyarakat pun akhirnya didiskriminasi. Perempuan pada akhirnya dibatasi akses dan ruang geraknya, laki-laki kemayu atau berperangai lembut akihrnya harus selalu disudutkan karena tidak sesuai standar masyarakat. Pembentukan streotipe atau pelabelan negatif akhirnya menggiring masyarakat memarginalisasi mereka yang dianggap jauh dari kenormalan.

Efek ini sangat terlihat jelas dari sejumlah komentar masyarakat di media sosial terkait isu yang terjadi beberapa hari kemarin. Tidak sedikit yang melekatkan yang bersangkutan (ybs) pada orientasi seksual tertentu. Padahal sifat gemulai tidak menjadi ciri khas bagi salah satu orientasi seksual.

Mengganggap ybs berperilaku menyimpang dan layak mendapatkan pengusiran, bahkan jika perlu dicabut haknya untuk mengenyam pendidikan di kampus tersebut. Hanya karena memegang kipas dan tidak tegap berjalan, kita melabelinya dengan kata "menyimpang". Padahal sifat tersebut bukanlah kodrat. Selain itu, pihak kampus sudah  bersuara bahwa kampus adalah tempat inklusif dan terbuka bagi siapapun.

Seyogjanya kita paham betul konsep perbedaan gender dan jenis kelamin, permasalahan tersebut dapat dipahami sebagai persoalan etika dan miskonsepsi dalam berinteraksi belaka. Mahasiswa ybs tidak sedang mempromosikan orientasi seksual tertentu. Mahasiswa ybs hanya memperkenalkan dirinya sebagaimana hasil identifikasi dirinya sendiri. Terlepas dari hal tidak etis yang dilakukan sebagai respon ketidaksenangan atas perlakuan yang diterima.

Nyatanya "status" yang disebutkan oleh bapak ibu dosen di video tersebut mengarah ke konsep jenis kelamin, sedangkan mahasiswa ybs menyebutkan "tidak keduanya" atau "netral" sesungguhnya mudah dimaknai sebagai konsep gender. Keduanya akan sulit bertemu pada titik yang sama, jika tidak menjelaskan pemaknaan masing-masing dengan kepala dingin. Netizen pun hanya akan memperkeruh dan memperlebar permasalahan karena tidak memahami kedua konsep ini.

Ini sama halnya kita sedang menertawakan laki-laki yang sedang menangis karena patah hati ditinggal kekasih.atau menggunjing perempuan yang mampu bela diri dan mendapatkan medali emas di kejuaraan dunia. Tidak ada salahnya kita lebih terbuka atas pengetahuan baru, tidak setuju tak mengapa, tapi tidak perlu menjatuhkan orang lain.