Beberapa hari lalu, Ketua DPR-RI Puan Maharani menggaungkan cuti melahirkan 6 bulan. Angin segar banyak dirasakan oleh para perempuan, khususnya ibu pekerja yang selama ini menganggap 3 bulan cuti melahirkan masih jauh dari kata cukup untuk memulihkan diri dan membangun bonding dengan anak.
Cuti ibu hamil selama 6 bulan menjadi salah satu bagian dari RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2022. RUU ini konon katanya dihadirkan untuk menyambut generasi emas Indonesia. Sebelum membahas penting tidaknya cuti hamil 6 bulan ini, ada baiknya kita terlebih dahulu melihat alasan hadirnya RUU KIA.
Salah satu bagian RUU KIA yang dapat menjelaskan alasan tujuan hadirnya RUU dapat disimak pada pasal 3 yang secara garis besar menjelaskan bahwa kualitas hidup ibu dan anak harus jauh lebih baik dari hari ini. Hal ini tentu saja sangatlah harus diacungi jempol.
Hari ini negara sudah mulai membuat peraturan perundang-undangan yang lebih berfokus pada pengembangan SDM Indonesia secara luas. Namun, betulkah kesejahteraan ibu dan anak bisa tercapai hanya dengan memberikan penekanan terhadap peran, hak dan kewajiban bagi ibu saja?
Pada kenyataannya kesejahteraan ibu dan anak bukan hanya tanggung jawab ibu saja. Isu kesejahteraan ibu dan anak memang betul sebagai upaya terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dari pusat hingga daerah untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak. Namun, sesungguhnya sejahteranya ibu tidak hanya hadir dengan terpenuhinya hak pelayanan kesehatan, hak mendapat kesempatan pengembangan kapasitas, hak memperoleh jaminan kesehatan, hak mendapatkan perlakuan dan fasilitas khusus, mendapatkan akses fasilitas, rasa aman dan pendampingan serta layanan psikologis.
Kesejahteraan ibu akan segera dapat tercapai, apabila main system (suami) dan support system (keluarga, komunitas, masyarakat, dan pemerintahan) memiliki pola pikir sama untuk mendukung tercapainya tujuan hadirnya RUU ini.
Kita ambil contoh saja, terkait cuti melahirkan 6 bulan. Cuti melahirkan selama 6 bulan memang jauh lebih baik, ketimbang hanya 3 bulan yang dapat dinikmati ibu pekerja yang melahirkan hari ini. Namun, apakah lama waktu tersebut betu-betul menjamin kesejahteraan ibu?
Jawabannya tentu sangat bisa diperdebatkan. Jika hanya ibu yang bisa menikmati cuti melahirkan selama 6 bulan, apakah bisa dipastikan waktu itu betul-betul dipergunakan untuk pemulihan diri ibu yang sudah lelah berjuang melalui proses kelahiran? Jika 6 bulan tersebut diisi dengan mengurus bayi selama 24 jam non-stop, tanpa hadirnya suami sebagai main system atau support system dari keluarga atau orang terdekat, maka akan besar kemungkinan ibu sulit pulih dari sakitnya, bahkan bisa menyebabkan gangguan kesehatan mental di kemudian hari.
Catatan dari RUU ini, suami hanya diberikan hak cuti pendampingan (melahirkan paling lama 40 hari dan keguguran paling lama 7 hari). Tentu hal ini sangat tidak berbanding lurus dengan usaha melibatkan suami secara penuh dalam pengasuhan anak, khususnya pada 1000 Hari Pertama Kelahiran. Hal ini memperlihatkan, negara (dilihat dari pola pikir pada RUU ini) masih tidak memperhitungkan peran dan tanggung jawab suami sebagai ayah/bapak dalam proses pengasuhan. Padahal sudah banyak penelitian ilmiah yang menunjukkan dampak positif keterlibatan langsung bapak/ayah dalam proses tumbuh kembang anaknya.
Belum lagi, apakah tempat kerja rela mempekerjakan perempuan yang notabene akan mengambil cuti hamil dengan gaji penuh selama 3 bulan dan 70% gaji selama 3 bulan berikutnya? Karena tidak sedikit tempat kerja yang masih memiliki cara berpikir biaya yang dikeluarkan untuk SDM adalah beban, bukan sebagai investasi untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Tentu ini akan memberi pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja perempuan di lapangan kerja.
Niat baik hadirnya RUU ini tentu patut diapresiasi, tetapi sesat pikir yang menjadi latar hadirnya perlu ditinjau kembali. Pengasuhan dan memenuhi kebutuhan hak hidup anak bukan semata-mata menjadi tanggung jawab seorang ibu, melainkan juga menjadi tanggung jawab bapak/ayah.
Jika ingin menyejahterakan ibu dan anak, maka lingkungan dan cara pikir masyarakat mengenai perannya masing-masing perlu dimutakhirkan. Kesejahteraan ibu bukan hanya dilihat dari hadirnya cuti kehamilan 6 bulan, melainkan rentetan kebijakan harus segera didorong secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan. Mulai dari keharusan menghadirkan ruang laktasi dan baby care di tempat kerja, layanan kesehatan dan pendidikan pra-kelahiran dan pasca kelahiran harus dinikmati oleh suami-istri, dan beragam kebijakan lain yang tidak berat sebelah dan hanya menitikberatkan peran ibu dalam pengasuhan dan kesejahteraan anak, baik di tempat kerja, pada layanan kesehatan, dan di masyarakat pada umumnya.