0%
Senin, 05 September 2022 23:01

Pengaruh Kenaikan Harga BBM Terhadap Pegalnya Kaki Kiri

ist
ist

Betis kiri saya rasanya pegal betul. Kemacetan yang saya hadapi hari ini (3 September 2002) begitu menguras energi. Sore ini saya menjemput istri dan anak di daerah Ratulangi, kami sedianya akan menghadiri takziyah orang tua dari kawan kami di daerah perdos Unhas. Macet sudah terasa di jalan Urip Sumoharjo. Awalnya saya berfikir macet di daerah sini biasa seperti ini. "Mungkin karena pertigaan lampu merah PLTU" pikirku. Namun selewat lampu merah PLTU kendaraan juga masih seperti melamun. Tidak ada tanda-tanda macet akan terurai. Sudah 1,5 jam kami terjebak dalam kemacetan ini. Semenjak pertigaan PLTU sudah 90 menit kami di jalan.

Sudah tidak tahan dengan kemacetan, kaki kiri yang hampir lepas, dan anak perempuanku yang kebelet pengen pipis, kami berinisiatif singgah saja di rumah keluarga di daerah perintis. Sesampai di rumah keluarga ketahuan lah dari teman -teman media dan sosial media, macet yang sebegitu parahnya karena mahasiswa sedang demonstrasi karena kenaikan BBM.

Dirumah keluarga saya, kami kemudian shalat Maghrib sekaligus isya karena waktu Maghrib telah habis, dalam shalat kemudian saya menghaturkan syukur kepada Allah SWT, karena sudah diberi kesempatan karena bisa mengistirahatkan kaki kiri yang kalau digerakkan seperti kurang pelumas, mengosongkan kandung kemih yang sudah terlalu penuh, dan bersyukur karena ada mahasiswa yang mau capek-capek demo untuk membela rakyat.

Tetapi dalam pikiran saya apakah demonstrasi model seperti ini masih efektif dalam mempengaruhi kebijakan? Apakah tidak ada cara yang lebih kreatif, lebih inovatif dalam menyalurkan aspirasi? Diera yang konon katanya era IOT (Internet of Things) apakah demonstrasi offair seperti ini masih lebih punya exposure yang besar?

Mahasiswa yang dalam kepala saya punya tanggung jawab terhadap masyarakat harusnya punya daya kreasi yang lebih tinggi. Harusnya mahasiswa punya cara-cara yang lebih elegan. Mahasiswa dalam melaksanakan tugasnya sebagai agent of change harusnya punya metode yang bisa mind blowing.

Tik tok, Instagram, Facebook dan social media lainnya harusnya bisa menjadi senjata mahasiswa. Masa konten yang sekedar joget-joget tak tentu arah punya kemampuan untuk mempengaruhi isi kepala masyarakat, sedangkan mahasiswa yang berusaha agar BBM turun tidak punya pengaruh? Bahkan sebagian masyarakat mencemooh niat baik mereka.

Media bahkan kadangkala tidak fokus pada nilai perjuangan mereka. Media dalam beberapa kesempatan bahkan memfokuskan diri pada seberapa panjang macet yang dihasilkan bukan pada orasi berapi-api mahasiswa. Orasi yang meneriakkan betapa pedihnya seorang ibu tunggal yang harus menghidupi 3 anaknya karena BBM naik Rp.2000an rupiah, atau supir pete-pete yang terpaksa mengurangi jatah treknya karena uangnya tak cukup beli bensin.

Jangan sampai output demonstrasi yang harusnya demi rakyat, malah menjadi bumerang bagi mahasiswa yang saya yakin murni niatnya hanya untuk membela kepentingan rakyat.

Masih kita ingat di bulan puasa tahun 2022, kejadian ibu-ibu yang menegur mahasiswa yang sedang demonstrasi untuk istirahat sejenak karena waktu sudah memasuki waktu buka puasa. Ibu tersebut mengingatkan kalau demonstrasi mahasiswa menghalangi orang lain untuk berbuka puasa.

Pernah juga kita baca atau dengar beberapa tahun lalu diada warga sekitar kampus yang melempari kampus, karena mahasiswa kampus tersebut hampir setiap hari demo sehingga menghalangi warga untuk beraktivitas.

Kejadian-kejadian diatas membuktikan kadangkala niat baik ketika dilakukan dengan cara tidak bijak malah menjadi masalah. Demonstrasi bukan hanya gagah-gagahan orasi meletup-letup sembari gagah-gagahan didepan odo-odo. Demonstrasi harusnya menyampaikan pendapat. Ada value perjuangan didalamnya, ada harapan masyarakat, ada beban masyarakat yang sedang diluapkan oleh mahasiswa.

Mahasiswa yang selalu menempatkan diri sebagai pengkritik penguasa, tidak boleh anti kritik. Kritik betapa tidak elegannya mereka, betapa tidak memikirkan masyarakat tindakan mereka, betapa ketinggalan jamannya mereka, betapa mereka tidak mengindahkan kepentingan orang lain, betapa sebagai anak muda mereka begitu tidak kreatif

Pada akhirnya, kita hanya bisa mengelus betis yang capek menginjak kopling karena belum mampu beli mobil matic seraya berdoa agar mahasiswa tidak terjebak pada cara-cara lama dan mulai berpikir mencari jalan yang lebih baik tanpa harus menghalangi hak memakai jalan masyarakat.

Sahl Tanrere
Lelaki yang pegal kaki kirinya

Kolom Populer