PORTALMEDIA.ID – Polri memperkenalkan penyederhanaan indikator eskalasi massa dalam pengamanan demonstrasi sebagai bagian dari upaya mewujudkan pola pengendalian massa yang lebih humanis, modern, dan berlandaskan prinsip hak asasi manusia.

Penyempurnaan konsep ini dipaparkan dalam Apel Kasatwil Tahun 2025, di mana seluruh kapolda dan kapolres mengikuti peragaan lengkap standar layanan unjuk rasa yang diperagakan anggota Ditsamapta Korsabhara Baharkam Polri.
Melalui pembaruan ini, tahapan eskalasi yang sebelumnya berjumlah 38 kini disederhanakan menjadi lima fase utama.
Baca Juga : Korlantas Direkomendasikan Bertransformasi Menjadi Badan Lalu Lintas Polri
Dirsamapta Korsabhara Baharkam Polri, Brigjen Moh. Ngajib, menjelaskan bahwa penyederhanaan tersebut dilakukan agar petugas di lapangan memiliki pedoman yang lebih jelas, mudah dipahami, dan tetap mengutamakan asas profesionalitas serta penghormatan terhadap hak warga.
“Ini bukan hanya simulasi, tetapi penegasan bahwa setiap langkah pengamanan harus terukur, sesuai prosedur, dan menghargai hak-hak masyarakat,” kata Ngajib dalam keterangan resminya, Kamis (27/11/2025).
Model pelayanan unjuk rasa yang baru ini merupakan hasil penyempurnaan dari pola sebelumnya, dengan menegaskan kembali prinsip proporsionalitas dan penggunaan kekuatan sesuai Perkap No. 1 Tahun 2009 serta standar HAM dalam Perkap No. 8 Tahun 2009.
Baca Juga : IPR Nilai Komisi Reformasi Polri Langkah Strategis Bangun Supremasi Hukum
Ngajib merinci lima fase eskalasi yang ditetapkan. Pada kondisi tertib, massa patuh dan situasi tetap kondusif. Kehadiran polisi bersifat preventif disertai imbauan verbal.
Pada fase kurang tertib, massa mulai melakukan provokasi ringan dan mengabaikan imbauan. Di tahap ini, petugas menerapkan teknik kendali tangan kosong lunak serta negosiasi oleh Kapolres sebagai pengendali taktis.
Memasuki fase tidak tertib, aksi pelemparan hingga pembakaran lokal mulai terjadi. Petugas dapat menggunakan kendali tangan kosong keras serta dorongan dengan meriam air (AWC).
Baca Juga : Presiden Prabowo Lantik Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie Jadi Ketua
Pada fase rusuh, terjadi perusakan, serangan fisik, hingga penutupan jalan secara masif. Penggunaan alat non-mematikan — seperti gas air mata atau senjata tumpul — diterapkan sesuai ketentuan.
Sementara pada fase rusuh berat, eskalasi membutuhkan pelibatan satuan Brimob atau tim Raimas jika PHH Brimob tidak tersedia.
Menurut Ngajib, lima fase ini dirancang untuk membuat setiap respons kepolisian berjalan dalam kerangka yang sistematis namun tetap berhati-hati.
Baca Juga : Wakapolri Ungkap 130 Masalah Internal, Dorong Reformasi dan Transparansi di Tubuh Polri
“Kami ingin memastikan bahwa setiap Kasatwil memahami bahwa tindakan polisi tidak boleh reaktif. Semua harus melalui tahapan yang jelas, disertai evaluasi di setiap langkah. Inilah bentuk modernisasi pengendalian massa yang akuntabel,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News