Penyintas Memilih tak Bersuara
Maraknya kejadian kekerasan dan pelecehan seksual di kampus disebabkan karena kurangnya ruang aman yang diciptakan untuk penyintas bersuara.
Sering kali penyintas kebingungan untuk melapor kejadian karena tidak ada petunjuk, pedoman, dan arahan yang dipegang dalam menangani kasus tersebut, salah satunya tidak adanya SOP yang sah dan jelas dari kampus, sehingga kasus ini tidak terungkap di permukaan, padahal tidak terungkap bukan berarti tidak ada.
Data Komnas Perempuan
Baca Juga : UNM-Pemkot Makassar Bentuk Tim Khusus Rancang Kurikulum Bermuatan Lokal
Selanjutnya, data yang dihimpun dari Komnas Perempuan, dalam rentang waktu tahun 2016-2020 terjadi 24.786 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, 7.344 kasus di antaranya adalah tindak pemerkosaan, dari jumlah kasus tersebut pun hanya sekitar 30% yang dapat diproses secara hukum.
Lalu, Komnas Perempuan juga mencatat, sepanjang tahun 2017-2021 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling tinggi terjadi di perguruan tinggi atau kampus, yakni 35 kasus. Diikuti pesantren 16 kasus dan SMA sebanyak 15 kasus.
Tak Diungkap untuk Jaga Nama Baik Kampus
Hal ini kemudian diperkuat oleh survei yang dilakukan Mendikbud-Ristek pada tahun 2020 yaitu, sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan, mengetahui bahwa terjadi tindak kekerasan seksual di kampus. Namun, yang menyedihkannya hanya 63% dosen di antaranya tidak melaporkan tindakan tersebut karena khawatir stigma yang akan mencoreng nama baik kampus.
Baca Juga : Mahasiswa UNM Blokade Jalan Pettarani, Tuntut Rektor Mundur Terkait Kasus Dugaan Pelecehan Seksual
Selain itu, Komnas Perempuan juga melaporkan pelaku kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lembaga pendidikan bervariasi. Sepanjang tahun 2015-2021, terdapat 67 pelaku di antaranya 28 orang guru, 15 orang dosen, dan 10 peserta didik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News